Kamu pernah berfikir akan menjadi seorang kondektur bis ? mungkin juga tidak pernah sedikitpun kepikiran. Wajar. Jika kamu masih berusia 15 atau 20 tahunan, dan kamu menganggap orangtua masih bisa bekerja, kamu tak akan pernah kepikiran seperti itu. Tetapi, bila tidak begitu. Mungkin juga, kamu terpaksa harus menjadi kondektur atau biasa disebut kenek. Ya kenek, pendamping supir dalam sebuah kendaraan umum.
Melihat kenyataan yang ada saat ini, seorang kenek ternyata memang tetap sebagai manusia biasa. Dalam bekerja pun, tidak bisa melepaskan diri dari posisinya sebagai dirinya, ayah, suami atau seorang kenek dalam sebuah bis. Dari kendati memang ada cerita, di dalam bis, seorang kenek bisa melupakan keluarga, atau malah mengingat-ingat keluarga terus. Dua peristiwa itu, kerap bermuncul saling bergantian.
Saat itu, kamu duduk di di bangku 3 dari belakang di sebuah bis. Perjalanan kali ini, kamu sudah jauh. Jalan rata dan halus, bukan jaminan buat telingamu bisa istirakat, dan nyaman duduk di jok bis yang kamu tumpangi. Bahkan, pada saat itu pula, telingamu tampak meruncing seolah taki-taki untuk  menyerap suara percakapan orang yang ada dibelakang.
"berisik amat..."gumammu pada waktu itu. Sambil larak lirik ke kanan ke kiri, kamu terlihat sedikit gelisah. Gelisah bukan karena punya masalah pribadi, namun gelisah rasa ingin tahu mengenai apa yang sedang terjadi. Setelah beberapa sudut kamu lihat, hingga kepalamu diputar, barulah kamu tahu, bahwa dibelakang mu itu ada seorang kenek yang tengah bertelepon ria dengan seseorang di seberang sana.
Kamu pasti tahu, dan tidak perlu dijelaskan kepada kami semua. Kenektur itu memang sedang duduk dibelakang, dan hampir melupakan tugasnya sebagai seorang kenektur. Kendati kita tidak bertanya kepadanya, namun dia pun mengeluarkan kata-kata yang seolang menjawab keraguan kita.
 "Biarin aja, ada kondektur ini..."jawabnya tegas. Seolah menjawab pertanyaan orang di seberang sana. Wah....wah.., orang di seberang sana seolah paham terhadap apa yang sedang kamu pertanyakan.
Karena si konektur seolah hirau dengan yang ada di lingkunganya, maka kamu pun kembali memberbaiki posisi duduk, mencari suasana dan posisi yang enak buat duduk. Dengan reflek, tanganmu membuka-buka kembali buku, dan mengambilan pandangan ke huruf-huruf yang ada dalam buku tersebut. Buku yang bertemakan kekuasaan dan kekerasan menurut teori Galtung, hampir rampung dibaca.
Dibelakang, sang kenek terus-terus saja berceloteh. Kamu sih perempuan tidak pernah mau ngerti. Urus sendiri aja. Tangisanmu gombal. Sudah saya akan hapus nomor ini. Saya tidak jadi pulang. Omongamu tidak pernah terbukti. Pembohong. Dan lain sebagainya.
Mendengar umpatan demi umpatan itu, keningmu kelihatan berkerut. Entah mikir, entah pusing. Entah pula kesel. Tapi bibirmu berucap kata, "apa gak malu ngomongin keluarga di bis umum seperti ini ?" pertanyaan ini, tidak keluar dari mulutmu. Karena saya lihat, kamu ada dalam kondisi yang ingin menghargai orang lain. Ehh....atau mungkin kamu ingin tahu akhir dari sinetron dunia selular itu...
Entah ini kejadian yang pertama, atau yang pertama bagiku. Namun dulu kamu pun sempat berkisah bahwa di bis yang dikendarai itu, kadang banyak kisah yang bercerita tentang masalah pribadi.bukankah dulu kamu pernah bertutur, bahwa suatu saat kamu merasa haru dengan seorang remaja putri yang ada dalam bangku bismu.
Sisi penampilan tidak begitu sempurna. Tubuhnya pun tidak begitu menarik untuk ukuran pandangan mata. Ya, setidaknya menurut pandangmu waktu itu, kamu tidak merasa tertarik dengan perempuan itu. Buktinya sangat sederhana, yaitu setelah kamu di kasih nomor hapenya pun, kamu tidak pernah melanjutkan komunikasi itu. No hp. Tinggal huruf tergeletak dalam ponselmu. Sementara dia terus melanjutkan perjalanan sejarahnya.