Setiap kita melirik karya-karya rupa digital berbasis Artificial Intelligence, selalu saja membuat kagum, dan terpesona. Bagaimana tidak, karya digital yang mereka hasil itu, sangat menakjubkan, bahkan dapat dibilang diluar 'nalar awam'. Sangat luar biasa, indah, dan keren abis.
Dalam beberapa minggu sebelumnya, atau diawal-awal berkenalan, masih ada yang larut dengan pandangan bahwa pemanfaatan aplikasi ini, merupakan sesuatu yang picisan. Di bilang demikian, karena setiap orang dapat menghasilkan karya yang luar biasa, sepanjang bisa membuat perinthanya. Â Hal itu terjadi, karena yang bekerja keras mewujudkan produk digital itu adalah si aplikasi itu sendiri.Â
Pemahaman itulah yang muncul di beberapa kalangan, sehingga mereka pun, berani untuk menegaskan ketidaklayakannya, karya digital dari AI untuk dikomersilkan. Perdebatan ini tidak sederhana, dan bisa jadi, masih ada dan berkepanjangan. Hal itu terjadi, karena satu pihak memandang karya digital sebagai sebuah produk kreativitas produsennya, sedangkan pihak lain, memandang sekedar karya artifisial itu sendiri. karya AI adalah karya, yang mungkin dianggapnya sebagai 'pseudo-karya" (setengah karya kreatif manusia).
Obrolan kita tidak akan panjang mengulas hal ini. Obrolan kita, akan belok sementara ke wilayah yang ada kaitannya dengan dunia pendidikan. Artinya, andaipun ada orang menganggap bahwa karya digital itu dianggap pseudo-karya manusia, namun untuk melahirkan karya tersebut, tidaklah mudah.
Satu kasus (eh, malah saya sering merasakannya), saat melihat hasil karya orang lain, dan kemudian bermaksud untuk mencoba membuatnya, atau menirunya, dengan aplikasi yang sama, ternyata menemukan prompt (perintah) yang tepat untuk gambar yang serupa itu, amatlah sangat tidak mudah. Sebagai contoh sebagaimana ilustrasi yang ada dalam tulisan kita kali ini. Â Sekali lagi, ternyata untuk menghasilkan yang mirip (kalau persis, kelihatannya belum bisa), begitu perlu kerja keras.
Oh, mungkin, karena keterbatasan diri dalam memanfaatkan aplikasi ini. Â Tetapi, andaipun demikian adanya, ada beberapa catatan dalam praktek pemanfaatan aplikasi tersebut.
Pertama, betul, bisa jadi, bergantung pada nalar seni atau kemampuan dasar manusianya, sehingga seseorang bisa dengan secara cepat berkembang kemampuannya dalam memanfaatkan aplikasi berbasis AI tersebut. Untuk hal seperti ini, tidak bisa dibantah lagi. Setidaknya kita akan sepakat bahwa jam terbang penggunaan, akan mempengaruhi potensi seseorang dalam berkreasi dan berinovasi.
Kedua, aplikasi serupa ini, khusus yang kita bicarakan ini, sejatinya mengantarkan dan mengondisikan kita untuk mampu berpikir deskriptif dan terstruktur. Di sebut deskriptif, karena harus mampu memberikan pernyataan yang bisa 'mengilustrasikan' gambaan yang harus dikerjakan aplikasi berbasis AI. Artinya, andai hendak membuat lukisan seorang putri bermahkota, si pembuat atau mampu membuat narasi yang tepat untuk menggambarkan produk yang diinginkan.Â
Di situlah seninya !
Selain berpikri deskriptif, saya merasakanya, adalah perlu pembiasaan berpikir terstruktur. Dalam kesempatan lain, disebutnya berpikri prosedural. Penstrukturan penalaran itu, sangat penting untuk memudahkan aplikasi menghasilkan karya yang selaras dengan impian si pembuatnya. Artinya, jika pola pikir tidak terstruktur, ya hasilnya, bakal random atau abstrak...hihi.
Dalam konteks inilah, tampaknya, aplikasi ini dapat digunakan sebagai bahan ajar untuk melatih pikiran supaya bisa berpikir logis, dan terstruktur serta deskriptif.
Mungkin,.. dan bisa dicoba ! Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H