Seorang capres memiliki beban berat untuk menjaga elektabilitas, karena penampilan cawapresnya yang dianggap belum sempurna, atau sebaliknya, maka dirinya merasa ada beban untuk memulihkan performa itu sehingga elektabilitasnya tetap tinggi.
Bila tidak terkendalikan, beban berat yang dirasakannya, akan menjadi pemantik depresi yang tercipta saat itu. Kalau sudah demikian adanya, Â maka siapapun, akan mudah terpancing emosi, dan menunjukkan sikap emosional.
Kedua, motif pertahanan dan penyerangan. Bila dalam diri kita, terhinggapi motif menyerang lawan, Â akan ada usaha 'maksimal' dari dalam dirinya menyusun bentuk serangan.Â
Terlebih jika kemudian, serangan itu dibarengi adanya keinginan untuk bertahan karena lawan memberikan argumentasi bantahan. Motif menyerang dengan bertahan yang tidak berimbang, atau tidak terkendali, maka akan menjebol tembok rasionalitas, dan kemudian memunculkan emosionalitas.
Untuk konteks kedua ini, tidak ada istilah akademisi, politisi, atau birokrasi. Setiap orang. Akan mengalami hal seperti ini. Orangtua, anak-anak, maupun kalangan remaja. Bila dirinya merasa diserang, terlebih lagi, karena disudutkan, maka upaya menyerang-baliknya, akan terpancing dengan aura emosional.
Ketiga, terbukanya kelemahan diri di arena publik. Sikap emosional, nampaknya akan terbakar, bila seseorang merasa sisi-kerahasiaannya dibuka atau terbuka atau terlihat oleh pihak lain, dan kemudian terucapkan di sisi publik. Arena debat adalah arena publik.Â
Di ruang ini, seseorang bisa menyampaikan pemikiran, dan pandangan subjektifnya terhadap lawan politiknya. Pada saat ada pikiran dan pandangan subjektif terhadap kinerja lawan, maka potensial ada usaha membongkar kinerja itu.
Sekali lagi, ketika ada titik lemah yang dibuka atau terbongkar di ruang publik, upaya pertahanan akan memancing seseorang berada pada situasi yang emosional.
Keempat, tersinggung sisi kepribadian. Jika nalarnya menilai orang lain lebih membicarakan masalah pribadi, dibandingkan dengan masalah ide dan gagasan, kelihatannya (sekali lagi ini persepsi kita sebagai penonton), akan memudahkan terpancingnya sisi emosionalitasnya. Urusan pribadi dan personal itu, rasanya adalah sisi-sakral yang sensitif banget kaitannya dengan emosi seseorang.
Lucunya, sekali lagi, memang bukan hanya birokrat atau birokrat, siapapun dalam konteks ini, akan terjebak bersikap emosional. Padahal, dalam konteks kontestasi politik, maka apapun dan dalam kondisi bagaimanapun, kemampuan mengelola emosi dan sikap di ruang publik, merupakan sebuah keniscayaan.Â
Tersebab, tanpa ada  kemampuan menjaga emosi diri sendiri, maka bagaimana mungkin kandidat itu akan mampu mengelola negara yang memiliki tekanan (stressor) yang sangat kompleks !