Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Debat Pilpres atau Diskusi Pilpres?

9 Januari 2024   05:24 Diperbarui: 9 Januari 2024   16:40 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Andai kita mencoba menggunakan harapan 'kesempurnaan' terhadap penampilan calon presiden, mungkin jadi, selepas perhelatan ketiga acara perdebatan calon presiden dan wakil presiden, masih belum terpenuhi.

Belum terpenuhi sebuah harapan untuk mendapatkan calon pemimpin sempurna. Setidaknya, ungkapan dan pernyataan itu, dapat disampaikan bila kita menyaksikan beberapa penggal cuplikan potret perdebatan pilpres kali ini.

Mengapa demikian ?

Pertama, dari sisi gagasan. Gagasan cenderung normatif. Artinya, antara satu paslon dengan paslon lain, andaipun memiliki argumentasi yang berbeda, namun lebih sekedar saling-melengkapi dan menggenapkan. Dapat dipastikan, tidak banyak gagasan yang diametral bertolak belakang. Paling jauh, hanya beda data, atau beda cara menjelaskan.  Misalnya, kalau soal ekonomi, belum ada pilihan, menaikkan pajak vs menghapuskan pajak !

Kedua, dari sisi penampilan. Penampilan ketiga paslon, masing-masing memiliki dinamikanya sendiri. Gaya penampilannya, secara tidak langsung, memiliki hal yang sama. Aspek emosional, intelektual dan retorika, secara bergantian dan saling menutupi terjadi pada ketiga paslon.

Di sini, kita tidak bermaksud untuk menyebut satu persatu, paslon mana mengunakan model apa. Tetapi, kepentingan kita di sini, bahwa setiap paslon tampak, dalam satu waktu mudah dipahami (rasional intelektual), pada satu waktu tendensi pribadi lebih kental dibanding  dengan argumentasi (emosi), dan pada sisi lain, retorika atau permainan kata lebih banyak dikedepankan daripada substansi yang akan dikedepankan.

Bisa jadi, penilaian seperti ini, sangat subjektif. Tetapi, perlu ditegaskan di sini, bahwa penampilan ketiga penampilan dari paslon capres-cawapres, belum mampu menunjukkan penampilan yang konsisten. Pada penampilan pertama, intelektualitas muncul, pada penampilan kedua unsur emosi dan sekedar retorika pada keluar, atau sebaliknya.

Ketiga, dari pola komunikasi. Tidak semua paslon mampu menunjukkan pola komunikasi yang cair. Kelihatan antar tiga paslon itu, ada jarak-psikologi yang merenggangkan. Mungkin, dalam batasan tertentu wajar, yakni karena mereka tampil di panggung kompetisi, dan dihadapkan pada situasi kampanye. Dimana situasi itu, memaksa mereka untuk bisa menampilkan yangterbaik dihadapan publik, sehingga mereka berusaha untuk tampil optimal.

Untuk kepentingan hal itulah, maka kadang tampak, ada paslon menyerang paslon lain, dan atau ada paslon tertentu seakan-akan merapat pada paslon lain. Ketiga paslon itu, tidak saling meniadakan, tetapi kadang dua paslon lawan satu paslon. Pola komunikasi ini, memang sulit dihindari.

Secara konseptual. Kalau saja, kita  yakin bahwa ketiga paslon itu memiliki gagasan yang berbeda, taruhlah kita sebut gagasan A, gagasan B dan gagasan C. Maka dalam pola komunikasi, harusnya mereka bisa saling kritik dan koreksi. Meminjam istilah orang kampus, paradigma berbeda, ya sudah tentu, harusnya berbeda sudut pandang, dan berbeda narasinya. 

Tetapi, manakala ada yang suka menyebut "saya setuju dengan paslon.....", maka sejatinya menggambarkan paradigma atau pola pikir dan strateginya tidak jauh berbeda. Bila demikian adanya, alih-alih harus berpisah koalisi, kenapa dari awal tidak berkoalisi saja, jika gagasan dan pemikirannya cenderung sama?

Dari konteks inilah, maka pola komunikasi dalam debat itu, sesungguhnya memberikan gambaran nyata, bahwa perbedaan koalisi atau partai di negeri kita, kadang bukan karena adanya perbedaan paradigma atau strategi pembangunan. 

Bukan, karena pada kenyataannya, khususnya kalau dialog, rancang bangun dalam bidang pertahanan, pemerintahanan, ekonomi ataupun yang lainnya, relatif mampu menunjukkan narasi-narasi yang sama.

Andaipun ada perbedaan, hal-hal sering muncul perbedaan data. padahala, secara konseptual, perbedaan data apalagi hanya berbeda angka, tidaklah mengubah pola pikir. Sebab, data kecil pun, andai disasar dari paradigma beda, sejatinya bisa melahirkan pandangan dan solusi yang berbeda pula. Oleh karena itu, berbeda data dalam jumlah, secara nalar (penulis) bukan sesuatu yang prinsipil dalam membedakan perbedaan sudut pandang.

Perbedaan diskusi di kelas dengan di pilpres, hanyalah pada bagian akhirnya. Kalau diskusi atau perdebatan di kelas, suka ada kesimpulan yang disepakati. Kalau dalam pilpres tidak ada kesimpulan, biarkan publik menilai argumentasinya. 

Dari sini, kita tersadarkan.....

o..... mungkin itu ya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun