Sore itu, di negeri Wakanda. Seperti biasanya, kumpul beberapa tokoh Wakanda, yang hari ini, sedang manggung. Mereka disebut sedang manggung. Karena memang, kebetulan, pada beberapa tahun terakhir ini, mendapat amanah untuk menduduki jabatan pada sebuah Lembaga milik pemerintah. Seperti biasa, Bahasa dan sebutan Masyarakat kita, adalah Amanah, padahal sejatinya lebih merupakan perintah, titah dari atasannya sendiri.
Di sebut, perintah, karena tugas dan tanggungjawab itu, dimiliki dan diterimanya, berkaitan erat dengan kepentingan atasan pejabat itu sendiri. Jabatan itu, bukan karena sebuah kepercayana atau titipan rakyat, melainkan pembagian-tugas kerja dari atasannya, atau pimpinannya. Karena itu, adalah tidak tepat, kalau disebut Amanah, mendingan lebih tepatnya titah atau perintah.
Sore itu, terdengar, ada satu diantara tokoh Wakanda itu yang sedikit lebih dominan dalam forum itu. Mungkin jadi, dia adalah orang yang memiliki posisi paling stratagis dibanding dengan teman-tema lainnya, yang hadir saat itu.
“Kita hari ini mendapat titah baru,” ungkapnya, sebagai pembuka diskusi sore itu, “ada beberapa kegiatan yang perlu diselenggarakan pada akhir bulan ini..”
“bagaimana caranya, bukankah di akhir tahun ini, pihak bendahara sudah akan tutup buku..” seloroh seseorang dari pojok diskusi sebrangnya.
“ya, begitulah,” jawab sang tokoh itu, “kita harus ikhtiar lagi, bagaimana mensiasati anggaran untuk bisa melaksanakan program tersebut..?”
“wah, kalau begitu, dana yang kita punya, akan tersedot besar-besaran dalam kegiatan itu…”
“gak masalah…” timpalnya lagi.
“kok, bisa…” beberapa orang lain, merasa heran dengan jawaban tokoh Wakanda tersebut. “gak mungkin, kan, kita mengeluarkan dana pribadi untuk kegiatan sebesar itu?, atau malah ada diantara kita yang hadir di sini, bersedia mengeluarkan biaya-politik untuk kegiatan tersebut?”
“dana yang akan gunakan, bukan dana kita” jawabnya, tegasm “ ya, ga apa-apa lah, kita habiskan untuk kegiatan ini….” Paparanya lagi dengan penuh percaya diri. Bahkan, selain mengungkapkan hal itu, dia pun menambahkan penjelasan bahwa titah dari atasannya itu, kalau sudah keluar dari lisannya, tidak bisa ditarik lagi, dan kita tidak bisa melupakannya. “tugas kita, hanya satu, lakukan, apa yang dia katakana..” pungkasnya.
“di sinilah, masalahnya..” rekan yang lain, turut membantu untuk mengisi pembicaraan di sore itu, “karena dana itu, bukan uang kita, tetapi milik negara, maka kita harus hati-hati dalam menggunakannya , dan hemat dalam pengeluarannya…” lanjutnya, “tidak boleh boros apalagi dihambur-hamburkan..” tanggapannya itu, diimbuhi dengan membicarakan adanya pemberitaan di media massa, bahwa ada informasi di Lembaga sejenis di tetangganya, yang disinyalir mengalir ke sejumlah orang dan kelompok secara tidak syah. Bahkan, pemerintah dan pihak berwajib pun, mengisyaratkan untuk segera menyelidiki dan menuntaskan dugaan penyalahgunaan wewenang tersebut.
“masalahnya, hari ini, kita dihadapkan pada titah pimpinan kita, tidak mungkin kita melawannya, kecuali kalau kalian siap menghadapi resikonya…” tegasnya lagi, “lagi pula, kita tidak menghambur-hamburkan dana negara, tetapi kita menggunakannya untuk kegiatan besar kita kali ini…”, sekaligus seakan memberikan jawaban terakhir, dan mengakhiri obrolan Panjang di sore hari itu.
-0o0-
Tidak banyak tambahan pembicaraan yang berkembang di sore itu. Sejumlah anggota pertemuan yang hadir di sore itu, kelihatannya ada yang manggut-manggut, seakan paham dengan pembicaraan dan arahan pimpinan obrolan sore itu, sebagian yang lainnya tampak kebigungan dengan situasi dan kondisi sore itu.
“buah simalakama…” gumamnya dalam hati. Ungkapan tercetus lirih dari lisan, seorang anggota rapat sore itu, yang tampak kegelisahan dengan hasil obrolan hari itu. “inilah, resiko dari jabatan karena diperintah, sehingga wajahnya pun, adalah wajah titahan….”.
Beberapa celetukan di pos ronda, sempat ada ungkapan, ada seorang raja kecil di negeri Wakanda yang memiliki kehidupan yang Be-Te. Istilah bete ini, bukan bad mood (rasa galau, buruk atau gelisah) melainkan singkatan dalam Bahasa Sunda, yaitu beungeut titaheun (wajah kuli, atau orang suruhan). Dengan Be-Te itu, raja kecil itu, nasibnya adalah menjadi pekerja, setiap harinya, hanya mendapatkan perintah untuk melakukan ini dan itu. Tidak ada kedaulatan diri. Jangankan memperjuangkan kedaulatan rakyat, untuk sekedar berdaulat bagi dirinya sendiri pun, sangat tiada. Tidak memiliki kedaualatan, baik dalam konteks dirinya, maupun kewenangannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H