Keunikan dari nilai budaya Baduy, adalah perlakuan terhadap tanah dan keadaan lingkungan. Nilai budaya inilah, yang kemudian menarik perhatian pada peneliti, atau orang luar, untuk memahami dampak perilaku Urang Kanekes terhadap kelestarian lingkungan, atau alam sekitar Baduy.
Â
teu meunang digaru atawa diwuluku
teu meunang digarap dikipar
teu meunang katincak keboÂ
keuna ku buyut nahun, buyut karuhun, buyut karang, buyut nabi, buyut para wali
Â
Terjemah :Â
 tidak boleh dibajak dan diwuluku
tidak boleh digarap dengan cangkul
tidak boleh dterinjak kerbau
terkena pantangan nenek moyang, yaitu pantangan yang sudah sejak lama berurat berakat dari nenek moyang, sehingga merupakan pantangan yang tidak bisa dilanggar bagaikan karang, terkena pantangan dari Nabi dan para wali
Â
(sumber, Sam dkk., 1986: 46, dari Masykur Wahid, https://bit.ly/3HjpW2b)
Pada masyarakat Kanekes, tidak ada tradisi membajak sawah.  Ada tiga alat atau cara dalam membajak sawah, yaitu dicangkul, digaru, dan diwuluku. Ketiga alat ini, digunakan untuk  mengolah sawah, sebelum ditanam padi, atau tanaman lain.
Garu adalah alat cangkul, berbentuk seperti sisir. Sementara, wuluku, adalah mengolah tanah dengan alat berbentuk garu, tetapi menggunakan tenaga kerbau atau hewan lain. Di era modern, alat seperti ini, diganti dengan tractor. Ketiga alat itu, memiliki fungsi yang sama, yaitu membajak atau mengolah tanah, sebelum lahan itu digunakan untuk tanaman.
Urang Kanekes, memiliki aturan khusus. Bahkan dengan tegas, pengolahan tanah, baik dengan cangkul, garu, atau wuluku, semuanya terlarang. Aturan ini, Â "keuna ku buyut nahun, buyut karuhun, buyut karang, buyut nabi, buyut para wali", menjadi pantangan, sejak nenek moyang atau leluhur. Karena ada aturan ini pula, maka dalam prakteknya, Â saat mengolah lahan, Urang Kanekes tidak pernah mencangkulnya.
Ada yang menarik lagi, bagaimana jika menguburkan jenazah ? seseorang yang meninggal, akan dikuburkan. Cara penguburannya, tidak membuat lubang, tetapi mencari daerah yang sudah cekung, dan bisa digunakan untuk menyimpan jenazah. Kemudian jenazah ditutup dengan berbagai dedaunan, yang  berserakan ada di sekitar itu. Keyakinan mereka, jika pada kuburan itu, sudah mulai tumbuh tanaman, maka ruh orang meninggal itu, sudah Kembali kepada karuhun. Prinsip dasarnya, proses penguburannya, tidak dengan cara menggali lubang atau mengubah kondisi tanah.
Bagaimana dengan pembuatan rumah ?
Fenomena ini juga menarik. Urang Kanekes  membuat rumah di kampungnya. Modelnya sama, arah posisi rumah sama, dan bahan bangunannya sama. Mereka tidak mencari lahan datar, dan tidak pernah mendatarkan rumah.  Rumah dibangun di atas lahan, dengan tetap menyesuaikan pada kondisi lahan.Â
Artinya, jika lahannya agak miring, maka tetap mereka tidak meratakan, atau mengubah kondisi topografi lahan. Mereka mengubah pola fondasi rumah, menyesuaikan dengan topografi lahan yang akan dijadikan tempat tinggalnya. Hal ini mereka lakukan, dengan maksud dan tujuan, untuk tetap menjaga keadaan tanah, sesui dengn pikukuh yang mereka yakini.
Kepatuhan Urang Kanes inilah, yang memberikan manfaat dan dampak nyata terhadap kelestarian lingkungan di Kawasan Kanekes. Mereka sangat menjaga keadaan alamiah lingkungan, untuk mendapatkan kelestarian dan kesejahteraan dari alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H