Pada saat ini, setiap penyelenggara pendidikan tengah berusaha mempromosikan dagangannya. Melalui spanduk, brosur, baligo atau layanan iklan di media elektronik mereka melakukan promosi pendidikan.
Mirip dengan kampanye politik di musim pemilihan umum. Di beberapa penjuru kota atau beberapa surat kabar dijejali dengan informasi mengenai lembaga pendidikan dan atau perguruan tinggi di kota dimaksud.Â
Tidak tanggung-tanggung, bagi perguruan tinggi tertentu memberikan janji-janji pendidikan (atau lebih lebih tepatnya janji politik pendidikan) terhadap sesiapapun yang rela menjadikan lembaganya sebagai tempat belajar. Ada promosi yang diimbuhi dengan hadiah, waktu penempuhan pendidikan, kemudahan dalam melaksanakan budaya akademik atau dengan janji siap kerja di akhir masa studi.
Saatnya dikoreksi
Realitas sosial tersebut tidak jauh berbeda dengan dunia politik di masa kampanye. Bila kalangan elit politik berkampanye lima tahun sekali, maka kalangan penyelenggara pendidikan melakukan kampanye pendidikan untuk satu tahun sekali.Â
Khusus untuk pendidikan sekolah kejuruan, pemerintah pun merasa bertanggungjawab dalam menarik minat dan partisipasi masyarakat untuk bisa bersekolah ke jenjang sekolah kejuruan. Maka dalam bulan-bulan terakhir tahun akademik 2006-2007 ini, ada layanan iklan pendidikan yang dilakukan pemerintah untuk menarik minat siswa bisa bersekolah ke sekolah kejuruan.
Dari sisi hakikat pendidikan adalah hak asasi manusia. Setiap orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan layanan pendidikan. Atau dengan kata lain, setiap individu sesungguhnya butuh dan perlu mendapatkan pendidikan. Tidak mengherankan bila sosiolog Abad ke-13 yakni Ibnu Khaldun menyebut pendidikan sebagai salah satu pranata sosial-budaya yang universal bagi setiap masyarakat. Perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat berikutnya itu, yaitu pada tempat, waktu dan model penyelenggaraan pendidikan.
Dengan kata lain, kebutuhan akan pendidikan ini merupakan satu kebutuhan dasar manusia yang tidak akan pernah hilang dalam peradaban manusia. Kemungkinan yang akan terjadi itu, hanyalah pada sisi orientasi masyarakat terhadap dunia pendidikan.Â
Untuk sekedar contoh, lima atau 10 tahun sebelum krisis 1997 di kota Bandung sempat diramaikan dengan munculnya beberapa sekolah tinggi ekonomi dan perbankan. Minat terhadap sekolah ini, bukan hanya karena banyaknya pemilik modal yang berminat menyelenggarakan lembaga pendidikan, namun karena adanya dugaan (hipotesis) bahwa pada masa itu merupakan era perbankan dan era ekonomi bagi bangsa Indonesia.Â
Dengan promosi besar-besaran pula, naiknya prestise perbankan serta tumbuhnya ekonomi Indonesia pada waktu itu, menyebabkan masyarakat Indonesia berduyun-duyun menyekolahkan anak-anaknya ke lembaga perguruan tinggi dimaksud.
Pasca krisis ekonomi, sekolah berorientasi pada ekonomi dan perbankan mulai ditinggalkan masyarakat. Sebab-sebab masyarakat meninggalkan lembaga pendidikan tersebut bisa dipengaruhi oleh banyak hal, salah satu di antaranya adalah melemahnya masalah ekonomi dan banyaknya perbankan yang dilikuidasi atau collapse (runtuh). Namun demikian, bila mau dikatakan krisis ekonomi dan melorotnya citra perbankan tersebut merupakan bagian dari penyebab berakhirnya masa kejayaan sekolah tinggi ekonomi dan perbankan (atau jurusan perbankan) di Indonesia.Â