Dalam Pasal 31 UUD 1945 termaktub sebuah dictum pemerataan, persamaan akses dan hak asasi warga Indonesia yakni semua anak bangsa memperolah pendidikan yang layak.  Pasal ini menjadi ruh asasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Namun pada  kenyataannya, semangat dasar UUD 1945 ini ditutup oleh mekanisme 'internal' lembaga penyelenggara pendidikannya dengan aturan-aturan konvensional yang  menjadi selector terhadap warga Negara.
Lebih mengerikan lagi alat seleksinya (selector) tersebut, bukan sesuatu hal yang bisa ditunjukkan secara bersama oleh seluruh warga Negara (kompetensi individu) melainkan oleh variable ekonomi. Pada konteks inilah ruh penyelenggaraan pendidikan telah ditenggelamkan oleh kebijakan konvensional para penyelenggara pendidikan.
Terakhir, kejadian ini memang tidak serta merta muncul ke permukaan. Fenomena ini muncul dan berkembang di Indonesia seiring dengan adanya permintaan dari masyarakat. Berdasarkan teori ekonomi, transaksi dapat dilaksanakan bila ada kesepahaman antara penawaran dan permintaan. Penawaran akan muncul bila ada permintaan.Â
Sikap pragmatisme di lingkungan pendidikan memang merupakan satu misteri yang masih membutuhkan riset yang mendalam. Â Artinya sikap pragmatis dalam dunia pendidikan ini, (a) apakah diawali oleh para penyelenggara pendidikan, (b) sikap orang tua yang semakin pragmatis, (c) atau birokrat pendidikan yang telah terbiasa dengan budaya pragmatis.Â
Namun demikian, simpulan yang dapat dengan mudah diterima nalar saat  ini, sikap pragmatis terjadi karena ada kemauan, kesepahaman dan tujuan khusus antara pelaku untuk melakukan praktek-praktek dimaksud.
Mencermati fenomena tersebut, akankah penyelenggaraan pendidikan di Indonesia akan melahirkan proses belajar mengajar yang bermutu dan berkualitas, bila di awal dan akhir penyelenggaraan pendidikan itu diwarnai oleh penyelewengan gagasan pendidikan yang mulia? akankah Indonesia mampu menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas, bila di awal dan akhir penyelenggaraan pendidikan itu diwarnai oleh sikap pragmatisme (lebih tepatnya nalar ekonomi) di luar kebutuhan anak didik itu sendiri?
Khusus untuk tingkat pendidikan dasar (SD-SLTP), kiranya pemerintah harus turun tangan dalam menertibkan trend atau kecenderungan ini. Karena bila hal ini tidak disikapi dengan baik oleh pemerintah, maka rendahnya partisipasi pendidikan di Indonesia bukan disebabkan oleh rendahnya minat masyarakat untuk mengakses layanan pendidikan, namun oleh budaya awal dan akhir pendidikan para penyelenggara yang tidak mampu diikuti oleh kemampuan masyarakat. Â Bila pemerintah tidak memperhatikan fenomena ini, maka jangan salahkan, bila masyarakat skeptis terhadap dunia pendidikan.
Bila kondisi ini dibiarkan, proses pendidikan tidak akan jauh berbeda dengan "gendang". Di muka ditutup rapat, di belakang tertutup rapat. Sementara di tengah-tengahnya kosong melompong tak berisi. Awal masuk pendidikan sangat sulit, dan keluar pendidikannya pun dipersulit. Sementara di tengah proses pendidikannya biasa saja. Akibat dari sikap pragmatis ini, yang korban tetap cuma satu orang, yaitu peserta didik atau anak bangsa itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H