Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

New Normal Life, Mengapa?

18 Mei 2020   20:50 Diperbarui: 18 Mei 2020   21:13 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

New Normal Life

Istilah ini ramai dibicarakan banyak kalangan. Berawal dari pemikiran Presiden Joko Widodo dalam mensikapi perkembangan Covid-19 di Indonesia. Dari sambutan dan pandangannya, dan juga melirik perkembangan kasus pandemic di Indonesia saat ini, dirasa perlu ada perubahan paradigm sikap dan respok bangsa Indonesia terhadap situasi pandemic ini.

Kita semua mengetahui, seminggu sebelum berakhirnya Ramadhan 2020 ini, kasus baru Covid-19 ini, masih terus bermunculan. Sempat ada berita baik, baik itu di DKI Jakarta maupun di Kota Bandung, kasus baru di dua kota ini, sempat melandai atau menurun. Sebuah pertanda baik, mengenai hasil penanganan pandemic di dua kota ini. Tetapi, hanya berselang beberapa hari, kemudian malah meningkat lagi, termasuk dalam skala nasional.

Situasi ini, sempat mengkhawatirkan banyak pihak. Pengetatan PSBB, kampanye hidup sehat dan disiplin dalam menjaga jarak, terus dilakukan dan dipertegas di beberapa tempat, dan juga titik perkumpulan masyarakat. Larangan mudik pun, semakin di perketat, dengan harapan dapat memutus rantai penyebaran Covid-19 di Indonesia.

Di lain pihak, setelah hamper berjalan dua bulan lamanya, yakni sejak awal Maret sampai menjelang akhir Mei ini, kasus ini, terus bertahan dalam posisi yang mengkhahwatirkan. Sementara di lain pihak, roda perekonomian semakin hari bukan semakin membaik, gejala yang tampak malah semakin memburuk. 

Gelombang PHK sudah mulai bermunculan dan diambang mata. Perusahaan sudah mulai menghentikan pemberian insentif atau gaji kepada karyawannya, akibat kondisi keuangan yang melemah. Kegiatan sector ril perekonomian, hamper mati di sejumlah titik di berbagai kota di Indonesia.

Situasi serupa ini, sudah tentu memprihatikan. Mengkhawatirkan. Banyak pihak menduga, bila kondisi ini dibiarkan, dengan tuntutan negara harus mengeluarkan dana besar dalam penanganan pandemic ini, maka ancaman kebangkrutan ekonomi nasional, kian melebar. Sulit dibayangkan, bila keadaan ini terus berlarut-larut. Pengeluarakan tambah besar, sementara roda perekonomian lumpuh. Ujungnya, keuangan memburuk, dan ekonomi negara akan bangkrut.

Sekali lagi dalam mensikapi situasi serupa inilah, dibutuhkan ada pendekatan baru, atau paradigm baru dalam merespon pandemic Covid-19 ini.  Bangsa Indonesia butuh, strategi baru dalam menghadapi situasi serupa ini.

Tetapi, betul. Pengalihan paradigm dan strategy nasional dalam menghadapi situasi pandemic ini, hendaknya dilandaskan pada kondisi ril kebangsaan. Misalnya, kita harus bareng-bareng sadar dan menyadari bahwa berlarut-larutnya keadaan sekarang ini, adalah kondisi yang kurang menguntungkan bagi bangsa dan negara ini. Keadaan inilah, yang hendaknya disadari oleh semua orang. Artinya, semua orang hendaknya terbuka, dan jujur, bahwa kita gagal menerapkan pendekatan PSBB dalam menghadapi pandemic.

Kita semua hendaknya bisa jujur dan terbuka, bahwa pendekatan kita selama ini, kendati dengan pengeluaran dana yang besar, dan bahkan pengorbanan nyawa pejuang kesehatan yang tidak sedikit, tetapi ternyata, pendekatan yang dikembangkan saat ini. Tidak efektif. Berlarutnya situasi ini, bukan sesuatu yang sangat menguntungkan bagi  masa depan bangsa, melainkan potensi melahirkan masalah kebangsaan yang lebih berkepanjangan.

Pemerintah khususnya, dan semua pihak umumnya, hendaknya bisa merasakan bahwa krisis pandemic sekarang ini, bukan sekear masalah kesehatan, tetapi potensial merambah menjadi krisis ekonomi. Sadari ini, dan mari bangun kesadaran kolektif terhadap potensi krisis kebangsaan ini. Di sinilah, sense of crisis, rasanya menjadi sangat penting bagi kita.

Bukan waktunya, untuk berbicara siapa yang salah. Masih tingginya kasus baru penularan Covid-19 saat ini, adalah fakta yang tak terbantahkan, bahwa pendekatan yang dikembangkan saat ini, masih jauh dari efektif, tetapi malah memancing dan memantik munculnya masalah dalam perekonomian nasionl. Artinya, kita, sebagai bangsa, memang belum memiliki ketahanan ekonomi yang tangguh, yang bisa bertahan lebih dari 3 bulan dalam situasi PSBB ini.

Sekali lagi, sense of crisis, menjadi kunci dalam membangun kesadaran untuk menemukan paradigm baru dalam menghadapi Covid-19 ini. Tanpa ada kesadaran kolektif ini, pro kontra pemikiran, yang kemudian malah menyebabkan ambivalen pengambil kebijakan antara Pusat-Daerah, potensial membelah kepatuhan rakyat di lapisan bawah.

Rakyat sudah berkorban banyak. Jika pengalihan paradigm pendekatan penanganan Covid-19 ini, tidak dilandasi pemahaman yang sama,  hanya akan menyebabkan perlawanan-kultural dari masyarakat, dalam mensikapi kebijakan Pemerintah. Rakyat akan pasif, dan pesimis dalam merespon ajakan Pemerintah. Alih-alih akan mendukung, untuk sekedar memahami visi pemerintah pun, cenderung abai. PSBB, Peraturannya Selalu Berbeda Beda. "PSBB" antara hari ini dengan hari kemarin, "PSBB" antara Pusat dan Daerah.

Sehubungan hal ini, ajakan untuk mewujudkan new normal life dari Pemerintah, adalah sebuah gagasan besar yang perlu sosialiasi yang cukup radikal di masyarakat. Gagasan ini, mengubah persepsi dari perang melawan Covid-19, ke berdamai dengan Covid-19, memancing persepsi bahwa pemerintah kalah menghadapi Covid-19. Jika pemahaman serupa ini, yang lebih terbaca, maka #Indonesiaterserah, menjadi wajar, dan lebih popular, daripada mimpi dan gairah kita untuk segera keluar dari pandemic ini.

Sebagaimana dimaklumi bersama, ada empat karakter utama, pola respon masyarakat kita terhadap situasi pandemic ini. Pertama, ada yang cuek, abai, dan bahkan cenderung meremehkan wabah. Bagi kelompok ini, Covid-19 dianggap sebagai salah satu gejala penyakit yang sama dengan jenis penyakit lainnya, yang sudah beredar di tengah masyarakat. 

Terlebih lagi, bila penyakit ini, tidak menunjukkan gejala yang tampak (asimptomatik). Seorang pesakit, ada yang cenderung tidak menunjukkan gejala yang jelas. Karena itu, kelompok ini, cenderung cuek, bahkan abai dengan situasi. Tidak mengherankan, dalam situasi pandemic serupa inipun, mereka masih berani untuk kumpul-kumpul, atau keluyuran ke luar rumah dan bahkan ke luar kota, dengan kelompoknya sendiri.

Kelompok kedua, ada yang meresponnya secara berlebihan. Stress dan depresi. Kondisi psikologis serupa ini, kemudian ditunjukkan pula dalam bentuk kepanikan dalam berbelanja untuk mengumpulkan bahan makanan di rumah.  Panic buying. Itulah sebutan media dalam menggambarkan kelakuan orang pada kelompok kedua ini.

Pada kelompok kedua ini, tidak nyadar, bahwa dengan stress dan depresi yang mereka tunjukkan itu, malah bisa menurunkan imunitas tubuhnya. Kemudian, bila imunitasnya menurun, maka potensial memudahkan penularan virus corona ke dalam tubuhnya. Artinya, jika kemudian dia bersentuhan dengan media yang sudah terpapar virus, respon tubuhnya terhadap virus ini akan cepat, dan kemudian mudah terpapar pula.

Kategori kita, ada yang meresponnya dengan santai. Mereka mengambil langkah dengan cara bijak dan rileks. Kendati sudah terpapar, misalnya, tetapi mereka tidak menunjukkan sikap yang berlebihan. Kegiatan hariannya tetap dijalan, dan kemudian mereka memperbanyak aktivitas olahraga, dengan maksud untuk meningkatkan imunitas tubuhnya. Mereka berkeyakinan bahwa dengan imunitas yang baik, maka pertahanan tubuh terhadap virus ini akan kuat dan mampu menangkal keganasan virus.

Jenis keempat, ada yang meresponnya dengan mengubah pola dan gaya hidup (life style). Pada kelompok ini, sadar bahwa virus adalah organisme yang ada di sekitar kita. Kunci pertahanan adalah pada diri masing-masing. Amat sulit, jika tidak dikatakan  mustahil, untuk melenyapkan virus dari muka bumi ini. Hal yang paling rasional dilakukan, adalah memperkuat imunitas tubuh sendiri, guna membangun pertahanan dari serangan virus.

Guna mewujudkan mimpi itu, maka satu-satunya langkah yang tepat adalah mengubahn gaya dan pola hidup. Ubah pola dan gaya hidup selama ini, menuju pola dan gaya hidup yang sehat. Makan, makanan yang bergizi atau bernutrisi. Cuci tangan setiap setelasp beraktivitas, dan tidak mengusap wajah dengan tangan kotor, dan senantias berolahraga serta mengatur waktu istirahat dengan cukup. Perubahan pola dan gaya hidup sehat ini, merupakan factor utama dalam mendukung new normal life di era pandemic seperti teralami saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun