Mengingat pada sepenggal perantauan saya ke provinsi Nanggro Aceh Darusalam pada 1994 hingga 2002, sungguh mengingatkan saya pada guratan pembangunanMajalengka ke belakang. Sederhana saja inti dari ingatan itu, sebelum saya bermukim di provinsi Nanggro Aceh Darusalam, kondisi Majalengka yang sepi dan langka pembangunan infrastruktur penunjang munculnya sebuah keramaian, itu jelas terasa. Saat saya pulang kampung pada tahun 2002, tepatnya berarti perantauan saya sewindu (8 tahun) lamanya, ternyata kampung halaman saya itu tetap dalam keadaan kondisi sepi dan langka dari pembangunan infrastruktur penunjang munculnya sebuah keramaian. Malah dalam pengamatan saya mulai 2002 hingga 2008, pembangunan Majalengka tetap seakan berjalan di tempat. Semua itu tentu dengan gampang dapat dicari muara alasannya. Tingkat rendahnya kemauan dan keberanian nakoda kapal bernama Majalengkalah yang dapat dijadikan sebagai alasan konkritnya.
Sepertinya memang sangat sepele dengan istilah kemauan dan keberanian. Pasalnya kedua istilah itu sering kita dengar dalam percakapan resmi atau tidak resmi. Namun jika kita sedikit rajin mengkritisi kedua istilah dimaksud kaitan dengan melekat atau tidaknya pada tubuh seorang pemimpin, maka pastilah kita akan mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa cukup jarang kedua istilah dimaksud mampu melekat bersama-sama pada tubuh pemimpin. Keadaan seperti ini betul-betul telah terjadi dalam kurun waktu yang begitu panjang pada eksistensi pembangunan Majalengka ke belakang. Atas kenyataan itu, pastilah segenap rakyat Majalengka akan merasa bersyukur bila yang memimpin Majalengka, itu memiliki tingkat kemauan dan keberanian yang super dalam membangun Majalengka ke depan demi menghilangkan kesan ketertinggalan dari kabupaten-kabupaten lain yang notabene banyak kabupaten di Jawa Barat ini yang jumlah angka hari jadinya di bawah Majalengka.
Dalam pengamatan saya berikutnya, ada sesuatu yang cukup menarik kaitan dengan regulasi pergantian pemimpin Majalengka. Tepatnya mulai tahun 2008 kaitan dengan babak baru dalam sejarah Majalengka bahwa pemimpin daerahnya dipilih secara langsung oleh rakyatnya, maka saya dapat melihat secara jelas istilah kemauan dan keberanian mulai muncul dan melekat bersama-sama pada tubuh pemimpin yang dipilihnya. Ini memang merupakan ekses positif dari kenduri pemilihan langsung. Dan ini kira-kira merupakan jalan pembuka bagi Majalengka untuk menutupi segala kekuarangan dalam berbagai soal pembangunan, khususnya pembangunan infrastruktur yang sering dijadikan sebagai tolak ukur berhasil tidaknya sebuah kepemimpinan.
Sebagai kubu terpilih dalam pemilihan bupati dan wakil bupati Majalengka 2008, SUKA terlihat langsung menyembulkan kemauan dan keberaniannya untuk membangun Majalengka yang notabene sungguh sangat tertinggal dari kabupaten-kabupaten lain di Jawa Barat. Dengan memunculkannya visi REMAJA (religius, maju dan sejahtra), itu menunjukan bahwa pemerintahan SUKA berharap benar agar masyarakat Majalengka mampu menjadi masyarakat yang berkeagamaan mapan, sehingga masyarakat Majalengka dapat dengan mudah meraih sebuah kemajuan yang telah direncanakan pemerintah daerah, yang pada titik akhirnya kesejahtraan rakyat akan tercapai mulus. Alhasil—menurut saya—visi REMAJA ini merupakan pewujudan kemauan dan keberanian kubu SUKA untuk mengubah Majalengka ke depan. Mengubah keterkenalan Majalengka sebagai kota sepi dan menghapusnya menjadi kota tujuan. Jika saja Majalengka sudah menjadi kota tujuan (tujuan bisnis, tujuan hiburan dalam liburan, tujuan penelitian, dan tujuan-tujuan positif lainnya), itu berarti kesuksesan aplikasi visi REMAJA.
Prihal gerakan pemerintahan SUKA mengubah Majalengka menjadi kota tujuan, kiranya perlulah diacungi jempol. Gerakan pertamanya tentang proses kebijakan penghematan anggaran yang notabene jika dihitung untuk satu tahun saja bisa menghemat anggaran ± 70 miliar, ini langkah dahsayat wujud kemauan dan keberanian pemerintahan SUKA. Kemauan dan keberanian lain yang ditampilkan pemerintahan SUKA seperti mengubah jalur jalan Munjul-Cigasong hingga jadi mulai cantik, mengubah suasana alun-alun dengan berbagai kelengkapannya sehingga suasana alun semakin hiruk-pikuk dan menarik, dan proses pembangunan lainnya yang secara terstruktur sedang dilakukan pemerintahan SUKA, ini kira-kira merupakan bagian dari sejarah Majalengka dalam membangun yang amat salah jika dilupakan. Mengingat dengan proses pembangunan yang ada sekarang ini, terlebih-lebih jika secara berkesinambungan dapat dilakukan dengan lebih lancar, maka tidak ada yang mustahil Majalengka akan mampu mengejarpembangunan kabupaten-kabupaten lain di Jawa Barat. Atau paling tidak tidak terlalu jauh tertinggal dari kabupaten-kabupaten tetangga. Dalam ranah konklutif sederhana saya, saya beranggapan pembangunan Majalengka ala SUKA dapat dikatakan cukup menghibur.
Menyikapi soal ketertinggalan pembangunan infrastruktur dari kabupaten-kabupaten lain di Jawa Barat, tak salah jika moment Hari Jadi Majalengka ke 521 tahun ini dapat dijadikan cermin sehingga pemerintahan SUKA bisa berkaca dan mengukur keterbaikan strategi pembangunan yang telah dilakukan. Bila segala strategi dianggap sudah baik, teruskan, dan bila ada kekurangefektifkan, maka perlu dicarikan alternatif strategi baru demi majunya majalengka sehingga cita-cita Majalengka menjadi kota tujuan segera tercapai.
Bila saja harapan agar Majalengka menjadi kota tujuan ingin segera tercapai, ada 3 hal pembangunan infrastruktur yang harus disegerakan alias tidak bisa ditunda-tunda lagi. Membangun pusat-pusat perbelanjaan/pertokoan barang-barang moderen dan barang-barang tradisional di tempat-tempat strategis berdasarkan prinsip analisis dampak lingkungan, ini merupakan hal pertama pembangunan infrastrukutur yang tidak perlu terlalu banyak dipikirkan. Dengan adanya pusat-pusat perbelanjaan/pertokoan mapan di tempat-tempat strategi di sekitar kota Majalengka, maka dengan sendirinya masyarakat dari berbagai penjuru Majalengka atau bahkan dari daerah-daerah yang cukup jauh pun akan datang dan berbelanja. Tentu yang pada datang tidak akan lebih banyak yang menggunakan kendaraan pribadi, melainkan akan lebih banyak yang menggunakan kendaraan umum. Atas kenyataan itu, maka akan banyak lahir pengusaha-pengusah dibidang jasa kendaraan, baik berupa angkot, ojeg ataupun kendaraan jenis lainnya. Dengan demikian tingkat kemajuan akan terasa bergerak menuju ke kesejahtraan dan kemapanan angka pendapatan perkapita, mengingat jumlah tenaga kerja banyak tersedot.
Membangun tempat-tempat hiburan di sekitar pusat kota ataupun di tempat-tempat wisata yang terpola berdasarkan aturan yang ada, dan membangun infrastruktur berupa tempat-tempat penginapan di sekitar pusat kota atau ditempat-tempat wisata yang ditetapkan, baik yang berkelas wisma, hotel kelas melati, ataupun kelas bintang, ini merupakan hal kedua dan ketiga soal pembangunan infrastruktur yang harus disegerakan. Ekses positif yang akan terjadi sama halnya dengan ekses pembangunan infrastruktur pertama yang disarankan. Hiruk-pikuk kendaraan akan tinggi, tenaga kerja banyak terserap, inkam daerah bertambah, kota dan sekitarnya menjadi hangat. Dengan berbagai kenyataan ekses positif dimaksud, maka kenyataan yang tak terbantahkan Majalengka sebagai kota sepi atau sering juga disebut sebagai desa besar, itu dengan sendirinya akan lenyap.
Satu hal yang tidak perlu dibantah adalah soal pentingnya kereligian pemerintahan daerah dan rakyat Majalengka walaupun misalnya 3 konsep pembangunan infrastruktur tersebut betul-betul dapat dilakukan. Artinya, pembangunan infrastruktur penting dilakukan, tapi membangun masyarakat agar berjiwa religi jauh lebih penting. Sebagai salah satu missal, jika kita mau memulai berjiwa religi, pastilah kita akan terbiasa untuk tidak menyepakati terjadinya berbagai pelaksanan hiburan di tengah alun-alun kabupaten, mengingat alun-alun dimaksud berhadapan langsung dengan masjid agung Al-Imam. Terlebih jika hiburannya itu berupa musik-musik bersuara keras. Untuk itu alangkah bijaknya jika alun-alun itu dibiarkan steril dari suara-suara membisingkan yang secara kasat mata dapat mengganggu kekhususan orang-orang di Masjid Al-Imam. Begitupun tidak terbatas untuk alun-alun kabupaten saja, tapi berlaku pula proses pembelajaran religi ini untuk daerah-daerah kecamatan atau desa yang ada dalam lingkup kabupaten Majalengka. Bila proses ketertaatan ini dilakukan, maka itu sesungguhnya merupakan bagian penting dari pelaksanaan visi REMAJA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H