Waktu itu dia mengikuti kuliah umum di UIN Raden Fatah. Dari situ dia mengenal dosen tamu yang juga budayawan Sumsel.
Kak Dona yang berkuliah di jurusan Sejarah Peradaban Islam tampak terkesima dengan penjelasan mengenai aksara ulu dari sang dosen.
Dari situ, dia pun mempelajari lebih dalam mengenai aksara ulu dengan sang dosen langsung.Â
Jadi, Aksara Ulu memiliki 28 huruf yang bentuknya menyerupai garis-garis yang serong ke kanan.
Huruf ini merupakan turunan dari huruf Pallawa dari Bahasa Sanskerta. Dulunya para ulama di Sumsel membuat tulisan dengan aksara ulu sebagai sarana komunikasi dan penyebaran agama Islam di Sumatera Selatan.
Namun sejak zaman penjajahan Belanda, aksara ulu tak lagi dipergunakan. Mungkin ada pelarangan dari para penjajah itu.
Makanya terdapat kesenjangan antara generasi dulu dengan generasi sekarang. Aksara Ulu tak lagi dikenal luas oleh masyarakat.
Dari penjelasan Kak Dona, aku teringat dengan almarhumah nenek. Dulu semasa nenek masih muda, mama bercerita bahwa nenek bisa membaca dan menulis Bahasa Arab gundul.
Ternyata itulah mungkin Bahasa Jejawi yang digunakan oleh orang-orang Palembang zaman dahulu.
Literasi Sumsel sebenarnya sudah sedemikian tinggi. Padahal nenek yang tidak tamat SD itu justru tak bisa membaca huruf latin. Rupanya memang orang dulu itu beda bahasa, bukan rendah literasinya.