"Mau apa kamu kalau kayak gini terus?" tuding seorang Bapak tepat ke wajahku. Bicaranya tegas tanpa tedeng aling-aling. Mendengar nada bicaranya yang ketus membuatku bergidik ngeri. Sejujurnya aku baru pertama kali bertemu dengannya. Pertemuan pertama saja sudah seperti ini. "Kamu mau kayak gini terus?" ujarnya sekali lagi. Aku tak tahu harus menjawab apa.
"Kita ini orang disabilitas harus mandiri." nasihatnya. What! Tunggu, kayaknya Bapak ini salah paham. Bukankah aku sudah berusaha mencari uang dari hasil menulis sejak SMA? Bukannya aku sombong sih, tapi memang begitulah keadaannya. Tidakkah itu sudah cukup? Aku saat ini sudah berpenghasilan meski kadang naik dan turun. Aku bukan orang yang hanya menadah dari orang tua, tanpa sedikitpun berusaha. Kayaknya Bapak ini salah orang.
Ingin kujelaskan seperti itu. Tapi entah mengapa yang keluar hanyalah air mata. Pernah merasa jadi beban keluarga? Well, dua kata ini memang sedang marak akhir-akhir ini. Apalagi aku seorang disabilitas daksa, yang belum apa-apa sudah dicap tidak mau berusaha. Tidak memiliki keahlian apa-apa.Â
Padahal selama ini, aku merasa kalau aku sudah mencapai karier impian yang kubanggakan. Menjadi seorang penulis buku dan copywriter. Klienku menjangkau hingga internasional. Menjadi penulis adalah salah satu profesi yang tak lekang oleh waktu. Selama kita memiliki kemampuan itu, seumur hidup kita Insya Allah bisa survive. Sejarah sudah membuktikannya. Penulis hidup abadi bersama dengan tulisan-tulisan mereka.
Banyak anak muda milenial ataupun generasi Z yang merasa tidak berguna. Merasa bahwa hanya menyusahkan kedua orang tua saja. Ibarat parasit yang semestinya dienyahkan. Saya rasa kita semua sering merasa seperti ini. Sesekali. Apalagi ketika diri sedang galau. Sedang berada di fase gagal dan terpuruk. Seolah-olah tiada lagi harapan, dan masa depan. Ingin sekali membahagiakan orang tua, tapi bingung bagaimana caranya. Apalagi kenyataannya punya skill dan penghasilan saja tak cukup.Â
Well, entah bagaimana caranya Bapak ini membuatku merasa kembali terpuruk. Seperti keadaanku semula saat awal merintis karier. Seolah-olah semua hal yang kulakukan sia-sia belaka. Hanya karena ucapannya, aku lantas menangis tersedu-sedu. Teringat akan remehan teman-temanku semasa sekolah dulu. Ucapan mereka semua yang menganggapku hanya benalu.Â
Impian tak sesuai dengan kenyataan. Segala  hal yang sudah kita lakukan malah berujung stagnan. Jodoh tak kunjung datang, padahal usia sudah semakin matang. Boro-boro dapat, ditaksir aja jarang. Mau nembak, eh keburu nikah dia sama yang lain.  Rasanya ingin mati saja. Tapi tak ada yang bisa dilakukan. Takut kalau mati nanti malah bertemu Malaikat Izrail.Â
Well, kalian tidak sendirian. Kita semua pernah berada di fase ini. Ibarat jalan raya, tidak semuanya mulus. Kadang ada belokan dan tikungan. Kadang malah berlubang, sehingga roda kendaraan kita ikut terperosok di dalamnya. Ada pula jalan yang penuh dengan batu kerikil. Itulah yang namanya kehidupan. Tidak selamanya indah.
Tidak semua orang mau peduli dengan hidup kita. Kebanyakan dari mereka hanya melihat apa yang tampak di mata. Tapi sebenarnya tanpa kita sadari. Ucapan yang merendahkan inilah yang justru membuat kita akan kuat di masa depan. Selama beberapa tahun belakangan, kita selamat saja. Hanya sekedar ucapan yang memuakkan. Tapi itu bukan alasan kita untuk merasa down terus-menerus. Semua pasti ada jalan keluarnya.Â
Kupikir-pikir lagi ucapan Bapak itu ada benarnya. Dari beliau, aku jadi semakin terpacu untuk terus memperbaiki diri. Kuakui akupun masih banyak kekurangannya. Sebagai seorang manusia, tentu saja. Mungkin aku masih jadi beban keluarga untuk bebetapa urusan. Seperti misalnya untuk keluar rumah, aku masih belum bisa berpergian sendiri tanpa didampingi keluarga. Untuk keselamatan diriku, kata mereka. Saatnya mencoba untuk memperbaiki kekurangan itu dengan menjadi lebih berani.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H