Mohon tunggu...
Firsty Ukhti Molyndi
Firsty Ukhti Molyndi Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger | Korean Enthusiast | Cerebral Palsy Disability Survivor

Seorang blogger tuna daksa dari Palembang. Memiliki minat tulis-menulis sejak kecil. Menulis berbagai problematika sehari-hari dan menyebarkan kepedulian terhadap kaum disabilitas. Blog: www.molzania.com www.wahkorea.com

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Catatan Merah Implementasi Perdana Kartu Prakerja

14 April 2020   11:35 Diperbarui: 14 April 2020   12:27 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika memang benar demikian, tentu hal ini sangat disayangkan. Dapat diartikan pula bahwa 78 ribu orang yang lolos hingga tahap akhir berarti sebuah keberuntungan. Sistem memilih mereka bukan berdasarkan kriteria yang berhak, tetapi diakibatkan oleh algoritma sistem yang random alias acak. Tentunya bukan saja penulis yang mengalami penolakan. Beberapa orang di sosial media yang penulis temui juga mengalami hal yang sama.

Penulis pertama kali mengetahui program Prakerja itu dari sebuah form resmi yang tersebar di WAG. Form tersebut dikeluarkan oleh salah satu LPK yang ada di Kota Palembang. Dalam form tersebut, mereka menegaskan sebagai lembaga pelatihan resmi yang ditunjuk oleh pemerintah. Penulis pun tertarik untuk bergabung karena berminat mengikuti pelatihan yang nantinya akan dilangsungkan secara online.

Dikatakan pula mereka akan memberikan data-data yang sudah diisi langsung kepada Kemnaker. Untuk itu calon peserta pelatihan disuruh untuk mendaftar pelatihan di situs Kemnaker. Pendaftaran pelatihan di situs Kemnaker dibuka beberapa hari sebelum dibukanya situs Prakerja. Karena sudah mendaftar lewat Google Form, maka pelatihan yang dipilih di situs Kemnaker haruslah berasal dari pelatihan yang diberikan oleh LPK yang sama.

Penulis pun mencoba mematuhi aturan dan menjalani tahapan demi tahapan sesuai dengan instruksi LPK. Namun dengan gagalnya proses pendaftaran online, penulis merasa tidak bakal lagi mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program Prakerja. Tapi secercah titik terang kemudian didapat. Pihak LPK masih mengusahakan semua peserta yang terdaftar di list mereka untuk otomatis mendapatkan kartu prakerja. Dalam artian, mereka akan melakukan koordinasi langsung dengan pihak Disnaker Provinsi Sumsel.

Melihat kenyataan tersebut, penulis pun dilanda kebingungan. Jika memang bisa lewat jalur Disnaker provinsi seperti yang dikatakan oleh LPK yang penulis ikuti, berarti untuk apa ada sistem pendaftaran online. Bukankah Disnaker sudah memiliki data peserta yang valid dari pendaftaran digital lewat form online yang diberikan pihak LPK? Mereka juga sudah memiliki data tersendiri mengenai pekerja yang terdampak PHK dan kehilangan pekerjaan.

Buruknya koordinasi pendaftaran online kartu prakerja sudah semestinya segera diperbaiki. Sehingga pendaftar tidak kebingungan untuk memilih mendaftar lewat jalur LPK atau online. Bisa saja pendaftar kartu prakerja yang tidak memenuhi syarat di laman online, lantas mendapat kartu prakerja lewat jalur LPK.

Berubahnya Keputusan Hasil Survey
Malam kemarin, penulis kembali iseng mengecek laman prakerja. Ternyata keputusan survey berubah lagi. Tertera di sana bahwa penulis salah memberikan jawaban survey. 

Bukan tidak berhak mendapat program kartu prakerja. Hal tersebut lalu menimbulkan kebingungan, apakah penulis sebetulnya masih bisa mendapatkan kartu prakerja di lain waktu atau lewat jalur yang berbeda? Meskipun demikian penulis sama sekali tidak dapat melaju ke proses selanjutnya meski sudah minta diulangi surveynya. 

source: dok. pri
source: dok. pri
Terakhir yang menjadi keheranan penulis, mengapa untuk mendapatkan kartu prakerja kita diharuskan untuk mengikuti tes kemampuan dasar? Data BPS tentang Potret Pendidikan Indonesia tahun 2019 menunjukkan 4 dari 1000 anak usia SD putus sekolah. Sementara itu, data juga menunjukkan 18 dari 1000 anak usia sekolah menengah putus sekolah.

Tingkat pendidikan orang Indonesia umumnya masih di sekolah menengah. Hanya sekitar sembilan persen yang melanjutkan hingga tamat perguruan tinggi. Angka putus sekolah di pedesaan masih lebih besar daripada perkotaan. Angka partisipasi pendidikan pada penduduk disabilitas tentunya lebih rendah lagi. Perhitungan tingkat pendidikan ini melibatkan penduduk dewasa dan tua.

Kenyataan tersebut diperparah dengan fakta bahwa mereka yang berpendidikan rendah di Indonesia umumnya berada di sektor jasa dan perdagangan yang tidak memedulikan keterampilan. Hal tersebut rentan sekali dengan yang namanya PHK, terlebih pada masa pandemi ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun