Sesuai rencana pemerintah akan menerapkan penggunaan biodiesel B30 pada tahun 2020 nanti. Pemberlakuan tersebut akan dilakukan secara umum pada mobil-mobil berpenumpang di Indonesia. Setelah sebelumnya pada tahun 2015, program pencampuran biodiesel sebanyak 20 persen sudah diterapkan pada beberapa sector usaha, dan pada tahun 2016 di sector transportasi. Sementara itu biodiesel B20 secara massif baru dijalankan di semua sector pada tahun 2018 lalu. (Sumber: Kementerian ESDM).
Beberapa waktu lalu, sehubungan dengan implementasi Biodiesel B30 ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mengadakan  Temu Netizen ke-15 dengan tema "Biodiesel Punya Wong Kito" di Hotel Novotel, Palembang. Pada kesempatan tersebut, Molzania beserta rekan-rekan blogger dan netizen turut hadir untuk berdiskusi dan menyerap ilmu.
Agenda acaranya tidak hanya diskusi panel, tetapi juga kunjungan lapangan ke lokasi pembuatan Biodiesel B30 di lokasi Pertamina daerah Seberang Ulu, Palembang. Sayangnya Molzania tidak diperbolehkan oleh panitia acara untuk ikut kunjungan lapangan karena berstatus disabilitas fisik. Alasannya dikarenakan mobilitas tinggi dan transportasi yang digunakan ialah bus, sehingga pengguna kursi roda tidak memungkinkan untuk diajak ke lokasi.Â
Meskipun demikian, Molzania tetap diperbolehkan untuk mengikuti acara seminar dan diskusi yang diadakan pada malam harinya di hotel. Molzania diminta untuk ke hotel sekitar pukul 4 sore. Tetapi rombongan kunjungan lapangan baru tiba di hotel dua jam kemudian. Ada sekitar 80 peserta yang ikut kunjungan lapangan yang terbagi menjadi dua kelompok. Usai coffee break dan shalat maghrib, kami pun masuk ke meeting room tempat dilaksanakannya diskusi panel.
DISKUSI SERU BAHAS BIODIESEL B30 YANG TERNYATA DARI KELAPA SAWIT
Jadi biodiesel B30 itu maksudnya penggunaan bahan bakar campuran dengan persentase 30 persen biodiesel kelapa sawit dan 70 persen bahan bakar fossil. Jadi tentunya lebih ramah lingkungan karena menggunakan bahan bakar tumbuh-tumbuhan yang diproses secara esterifikasi yang dikenal pula dengan istilah bahan bakar nabati (BBN). Secara struktur kimia, biodiesel kelapa sawit memiliki banyak kemiripan, sehingga bisa dijadikan alternatif pengganti solar.
Saat ini, sumber energi fossil terus-menerus berkurang. Sejak tahun 2004, Indonesia bukan lagi negara pengekspor minyak. Sehingga kita butuh pengembangan energi alternatif yang diperoleh dari energi baru terbarukan (EBT) untuk menyuplai kebutuhan bahan bakar dalam negeri. Indonesia negara yang kaya akan sumber daya alam dimana kelapa sawit dapat tumbuh dengan subur, sehingga dipilihlah kelapa sawit yang jelas menguntungkan dari segi material.
Dibandingkan dengan sumber BBN lainnya, kelapa sawit tergolong tidak rakus lahan. Dengan hanya menggunakan 7 persen lahan, sawit mampu menghasilkan minyak nabati sebesar 32%. Sementara itu, kelapa sawit juga nihil limbah. Setiap pokok tanamannya bisa diolah menjadi sesuatu yang lain. Contohnya ialah pelepah daunnya digunakan untuk pupuk organik, sabut cangkangnya untuk bahan bakar boiler, hingga limbah cairnya untuk pupuk dan biogas.
Selain karena alasan efisiensi diatas, impor dan ketergantungan negara terhadap BBM yang berasal dari fosil akan berkurang. Dengan begitu, diharapkan dapat memperbaiki defisit perdagangan dan menghemat devisa negara. Berdasarkan data yang dihimpun oleh BPDPKS, sawit menyumbang total ekspor 310 Trilyun pada tahun 2017. Industri sawit berhasil menyerap tenaga kerja sebanyak 16,2 juta orang dan 4,6 juta petani.
PROGRAM PEMANFAATAN KELAPA SAWIT UNTUK BIOENERGI
Â
Kebijakan energi nasional pada tahun 2014 mengagendakan untuk memaksimalkan energi baru terbarukan (EBT) dan meminimalkan penggunaan minyak bumi. Untuk itu pada tahun 2025 nanti pemerintah berusaha untuk menaikkan nilai EBT pada bauran energi primer tahun 2025 menjadi 23 persen. Naik sekitar 14,7 angka dari yang sebelumnya hanya 7,3 persen pada tahun 2017 lalu.
Saat ini kapasitas aktif biodiesel dari industri kelapa sawit 12,05 juta kiloliter yang tersebar di 4 wilayah provinsi di Indonesia. Menurut data Dirjen EBTKE, pemanfaatan biodiesel tersebut untuk membangun PLT bioenergy yang rencananya akan beroperasi pada tahun 2019. Berupa pembangunan PLT Biogas dana Biomassa yang bahan bakarnya berasal dari kelapa sawit. Rencananya pengoperasian PLT tersebut akan menyerap 1281 tenaga kerja dari dalam dan luar perkebunan.
Tahap selanjutnya direncanakan kelapa sawit akan memulai program konversi menjadi bio hydrocarbon fuel. Dimana nantinya kelapa sawit juga akan diubah menjadi green diesel, green gasoline dan green jetfuel (avtur). Riset saat ini mulai dilakukan melibatkan Institut Teknologi Bandung (ITB), BPDPKS dan Pertamina.
BIODIESEL KELAPA SAWIT DI BALIK ISU LINGKUNGAN DAN HAM Â
Disinggung juga pada pertemuan tersebut mengenai isu yang disebut oleh pemerintah sebagai black campaign. Isu tersebut yang berkaitan tentang lingkungan dan HAM terhadap industri kelapa sawit Indonesia diantaranya masalah kebakaran hutan, deforestasi dan pekerja anak. Terkait masalah deforestasi dan kebakaran hutan, sudah pernah Molzania singgung pada artikel  "Lestari Hutanku, Bangkit Ekonomiku, Bijak Bestari Negeriku".
Sayangnya pada kesempatan tersebut, tidak diuraikan secara lengkap bagaimana isu tersebut dihandle oleh Kementerian ESDM dan BPDPKS. Padahal Molzania sebagai orang Palembang bertanya-tanya dan ingin tahu lebih banyak mengenai isu-isu penting yang menghantui industri kelapa sawit di Indonesia. Beberapa tahun yang lalu, wong kito galo pernah menjadi korban dari kebakaran hutan hebat yang melanda Sumsel dan beberapa provinsi lainnya di Indonesia.
Akan tetapi melalui laman Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Molzania mengetahui bahwa isu industri kelapa sawit menyebabkan kebakaran hutan tidak selalu benar. Dikemukakan disana bahwa justru industri kelapa sawitlah yang menjadi salah satu korban dari karhutla. Jika kebakaran melanda perkebunan kelapa sawit, maka tanamannya akan mati dan proses pengangkutan produk mentah ke pabrik akan terganggu. Jumlah kerugian yang ditanggung oleh pemilik diperkirakan mencapai 80-100 juta per hektar. Biaya ini akan ditanggung sepenuhnya oleh pemilik perusahaan. Â Â
Provinsi-provinsi sentra kelapa sawit seperti Kalimantan Timur, Sulawesi Barat/Selatan, dan Sulawesi Tengah, karhutla justru relatif kecil yaitu hanya kurang lebih 110 ha. Bahkan Sulawesi Barat tidak terdampak sama sekali. Sebagian provinsi yang menjadi sentra perkebunan kelapa sawit yaitu Riau dan Kalimantan Tengah memang dilanda karhutla yang hebat, yaitu rata-rata kurang lebih 1500 ha sepanjang tahun 2010-2015. Tetapi pada provinsi lainnya yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Barat (NTB) yang notabene bukan sentra industri kelapa sawit, kebakaran kurang lebih juga sama besarnya. Data ini dihimpun oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) pada tahun 2015.
Menurut teori Tragedy of Common Properly, hutan secara teoritis tidak dimiliki oleh siapapun. Semua orang bisa memasukinya sekaligus memanfaatkan kekayaannya. Faktor penyebab karhutla terbagi menjadi dua, yaitu faktor manusia, alam dan kombinasi dari keduanya. Kebakaran lahan yang terjadi di setiap provinsi di Indonesia terjadi akibat ulah masyarakat itu sendiri. Setiap harinya terjadi illegal logging dan pembakaran lahan di areal hutan. Baik yang dilakukan oleh individu atau kolektif oleh masyarakat.
Untuk menanggulangi deforestasi dan kebakaran hutan, memang diperlukan pengaturan tata kelola hutan yang baik. Juga adanya kerjasama dan kesadaran lingkungan dari semua pihak, baik perusahaan dan masyarakat.
Namun tidak ada salahnya untuk mengembangkan pula energi baru terbarukan (EBT) lainnya selain kelapa sawit. Pemerintah perlu mengembangkan sektor research dan kerjasama penelitian. Selama ini anggaran penelitian Indonesia relatif kecil dibandingkan dengan negara lain. Padahal setiap tahunnya konsumsi BBM nasional terus meningkat. Jika kita memanfaatkan banyak sumber EBT, kebakaran hutan di wilayah lahan perkebunan kelapa sawit akan bisa diminimalisir.
Dikarenakan sifat dasar tumbuhan kelapa sawit yang mudah terbakar, maka semakin banyak lahan kelapa sawit ditambah faktor lainnya, akan mengakibatkan semakin banyak kebakaran hutan. Tidak bisa dipungkiri perkebunan kelapa sawit mudah terbakar. Kita perlu memanfaatkan banyak sumber alternatif biodiesel, tidak hanya satu. Dengan kekayaan alam di Indonesia, diharapkan kita nanti mampu memanfaatkan beragam tanaman untuk dikonversi menjadi biodiesel.
Sumber:
slide presentasi kesdm dan bpdpksÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H