Konon dari hasil perkawinan itu, lahir dua orang putra kembar. Dengan adanya kedua putra kembar itu, maka Bui Ikun mulai sibuk sebagai ibu. Setiap hari ia harus memasak, sambil mengasuh kedua anaknya dengan penuh kasih sayang. Pada musim menanam kebun, Bui Ikun harus mengantar makanan untuk suami dan kedua orang tuanya di kebun.
Pada hari itu, makan siang yang ditunggu sang suami tak muncul. Tiba-tiba yang muncul di kebun bukan Bui Ikun yang mengantar makanan tetapi periuk belangga yang terguling dan sudah terbelah dua. Melihat kejadian itu, Kakek Mau serta istrinya dan Suri Ikun sudah yakin bahwa Bui Ikun telah melanggar aturan memasak dalam rumah. Yang mana, setiap kali memasak nasi, sebutir beras sudah cukup untuk seisi rumah.
Pada hari itu Bui Ikun memasak segantang beras. Itulah sebabnya, nasi meluap saat mendidih dan periuk belangga terbelah dua dan terguling sampai di kebun. Setelah periuk nasi itu terguling, Bui Ikun dengan cepat membersihkan abu dan tumpukan nasi di tungku itu. Pada saat itulah Bui Ikun menemukan sayapnya yang disembunyikan selama ini.
Betapa berbunga-bunga perasaan Bui Ikun saat mengambil sayapnya yang telah lama hilang. Akhirnya, serta merta Bui Ikun mandi dan berkemas barang untuk kembali ke khayangan.
Setelah berkemas barang, Bui Ikun mengajak kedua anak kembarnya ke halaman rumah sambil mengumpulkan sejumlah daun kering untuk di bakarnya. Tak berapa lama berkepullah asap api dari daun-daun itu. Bersamaan dengan kepulan asap api itulah Bui Ikun memasang sayapnya lalu terbang mengikuti kepulan asap itu.
Menyaksikan hal itu, kedua anak kembarnya hanya menangis tersedu-sedu sambil kebinggungan melihat ibu mereka yang makin lama makin tinggi, lalu menghilang dari pandangan mata. Tak lama kemudian barulah ayah mereka, Suri Ikun bersama kedua kakek Mau dan Neneknya kembali dari kebun.
Saat itu, kedua anak kembarnya menceritakan kepergian sang ibu ke langit. Mendengar cerita itu, Suri Ikun berlari ke dapur dan memeriksa di bawah tungku dimana sayap Bui Ikun dikuburkan. Ternyata sudah tidak ada lagi sayap Bui Ikun yang selama ini dirahasiakan. Suri Ikun sangat sedih, sambil memanggil kedua anak kembarnya yang terus menangis.
Pada keesokan harinya, Suri Ikun pergi ke hutan untuk mencari bantuan demi menyusul ke khayangan. Di hutan itu, Suri Ikun bertemu dengan serumpun pohon rotan yang merambat pada sebatang pohon yang tinggi. Kepada pohon rotan itu, Suri Ikun berkata ; “Maukah kamu membawa aku ke khayangan?”.
Tetapi pohon rotan itu menolak permintaannya dan berkata;” Duriku masih terlalu banyak kecuali kamu menunggu sampai duri-duriku sudah tua dan gugur barulah aku membawamu ke khayangan?”. Mendengar hal itu, Suri Ikun tak sabar lagi dan berjalan terus untuk mencari bantuan.
Tak jauh dari sana , adapula sebatang pohon enau yang tinggi menjulang. Suri Ikun lalu meminta bantuan kepada pohon enau itu dengan berkata; “Maukah kamu membawa aku ke khayangan?”. Mendengar perkataan itu pohon enau (Bone) pun dengan senang hati menyanggupi dan mengantarnya kekhayangan (Dari sinilah muncul Suku Bone Takain sekarang menjadi Desa Nai' Bone Kecamatan Sasitamean Kabupaten Malaka).
Setibanya di khayangan, Suri Ikun segera menemui ayah dari Bui Ikun. Ia memohon kiranya Bui Ikun diperkenankan untuk kembali ke dunia demi kedua anaknya yang masih kecil. Mendengar permohonan itu, ayah Bui Ikun tidak keberatan namun ada beberapa syarat yang harus dilewati. Apabila Suri Ikun lulus dalam ujian-ujian itu, maka Bui Ikun boleh dibawah kembali ke bumi.