Ketika masih kecil ibunda Elisabeth selalu mengantar tidur dengan mendongeng agar cepat tidur sono. Sambil membelai rambut ibunda menceritakan kisah-kisah pada jaman dahulu. salah satu tuturan cerita dongeng ini saya ingin suguhkan buat pembaca yang masih senang berdongeng. Bahwa pada jaman dahulu kala hiduplah dua orang anak bersaudara. Yang sulung bernama Unu dan yang bungsu di sebut Ikun. Keduanya selalu saling menyayangi dalam hidup sehari-hari. Pada suatu hari keduanya pergi ke hutan untuk berburu. Setibanya di hutan mereka melihat sebuah sangkar burung raja wali di atas pohon yang tinggi dan sangat rimbun daunnya. Berkatalah sang kakak kepada adiknya Ikun: “ Adik kalau bisa panjatlah pohon ini dan ambil kasih kita anak burung raja wali itu”. Jawab si Ikun: “Ah..... kakak, saya tidak bisa memanjat pohon. Apalagi ini pohon sangat tinggi kakak. Kalau bisa kakak yang memanjat saja”. Dengan berat hati sang kakak akhirnya memanjat pohon itu.
Begitu sampai di atas pohon, dilihatnya dua anak burung raja wali yang berada dalam sangkar itu. Sang kakak begitu senang melihat kedua anak burung raja wali yang memiliki bulu yang bagus dengan berteriak : “Hore.................. adik kita memiliki dua ekor burung”. Lalu Sang kakak berkata kepada adiknya Ikun : “Adik ,.... dua ekor burung ini tidak sama. Satunya besar dan satunya lagi kecil. Nanti burung yang kecil untuk adik dan kakak punya yang besar he e e e. Mendengar perkataan sang kakak itu membuatnya bersedih dan menangis. Sambil menangis Sang adik berkata kepada kakaknya: “Kalau kakak ingat saya, burung yang kecil untuk kakak dan burung yang besar untuk adik”. Mendengar hal itu sang kakak hanya diam saja, sambil mengambil kedua anak burung raja wali itu.
Setelah mengambil anak burung tersebut sang kakak turun kembali dan mendapati adiknya masih terus menangis. Melihat keadaan adiknya itu sang kakak pun marah dan memberikan kedua anak burung raja wali itu kepada adiknya yang tengah menangis itu lalu ia pergi meninggalkan dia. Melihat kakaknya telah menjauh maka sang adik memanggil kakaknya : “Kakak, kembali dan ambil anak burung yang besar ini. Biar saya punya yang kecil.” Ia terus memanggil sang kakak dari balik hutan itu namun sang kakak tidak menghiraukan panggilan adiknya itu.
Beberapa saat usai keberangkatan sang kakak, datanglah Amnah Mate’ (Orang hutan) menyerupai sang kakak dan berkata kepadanya: “Mari adik...., mari adik...., saya adalah kakakmu”. Jawab si adik kepadanya : “Engkau bukan kakakku, sebab kakak memakai Bete’ Krao(Pakaian adat), mengenakan gelang dan bibirnya hitam”. Mendengar perkataan si adik itu kembalilah ia dan berbuat seperti apa yang dikatakan si adik agar meyakinkan si adik itu bahwa dia sesungguhnya adalah kakak kandungnya. Selanjutnya ia kembali mendapati si adik dan berkata kepadanya: ”Adikku mari kita kembali ke rumah”. Sang adik akhirnya menuruti panggilan Amnah Mate’ itu dan kembali kerumah. Setibanya di rumah ia berkata kepada Amnah Mate’ :”Ini bukan rumah kita kakak”. Jawabnya Amnah Mate’ : ”Sesungguhnya ini adalah rumah kita adik “.
Usai makan malam, datanglah kepala suku dan berkata kepada Amnah Mate’ : “ Engkau telah memperoleh seekor babi untuk kita?”. Jawab Amnah Mate:” Ya, Tuan”. Kepada Amnah Mate kepala Suku memerintahkan bahwa: ”Engkau harus mengikatnya dan memberi makan kepadanya agar cepat gemuk. Babi itu kita akan mempersembahkannya saat peresmian rumah adat pekan depan”. Mendengar perintah Ketua Suku itu Amnah Mate’ pun bergegas memerintah adik-adiknya untuk mengikat kedua tangan sang adik yang dibawa dari hutan itu. Sang adik menangis dan memanggil kakaknya agar melepaskan tali pada kedua tangannya. Namun Amanah Mate’ tidak menghiarukan panggilan adiknya itu. Ia terus menangis tetapi orang-orang yang tengah mengikatnya itu tidak menghiraukan tangisan si adik itu. Setelah mengikatnya, lalu di bawa ke kandang bersama kedua burung raja wali itu.
Hari-hari selalu dilewatkan dengan menangis. Bahkan ia digabungkan dengan babi-babi yang dipersiapkan untuk acara rumah adat itu. Setiap hari ia diberi makan bersama babi-babi itu meskipun tempat itu agak jorok dan bau tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa karena tangannya sudah diborgol. Biasanya saat makan orang-orang itu menyuapinya dan kedua burung raja wali itu. Seminggu kemudian kedua burung raja walinya sudah bisa terbang. Namun kedua burungnya terbang hanya mengelilingi kandang babi itu. Pada malam hari kedua burung raja wali itu pun tidur dengan tuannya.
Suatu hari kedua burung raja wali yang tengah bermain di sekitar kandang itu, datanglah sekelompok orang untuk mengetahui apa tuannya sudah gemuk atau masih kurus. Orang-orang itu berkata : “Oh, ..... ternyata dia sudah gemuk”. Kemudian mereka melaporkan keadaan si adik itu kepada kepala Suku. Lalu Kepala Suku menjadwalkan hari untuk menyembelih si adik itu. Si adik pun menangis mendengar rencana orang-orang itu untuk membunuhnya. Sementara kedua burung raja wali itu telah mengetahui rencana jahat orang-orang itu kepada tuannya.
Pada suatu hari burung-burung raja wali itu pergi jauh mencari makanan dan ketika pulang mereka mendapati tuannya tengah menangis. Lalu tanya kedua burung raja wali itu kepada tuannya:” Kenapa tuan menangis terus. Kami selalu siap membantu tuan apabila ada orang yang mencelakakan tuan”. Jawab tuannya: “ Ya, orang-orang sekitar ini akan membunuh kita untuk korban sembelihan di rumah adat”. Kepada tuannya mereka berkata :”Mereka tidak akan membunuh kita sebab kita akan lari”. Jawab tuannya: ”Kamu bisa terbang tetapi saya akan disembelih”. Dengan tegas mereka berkata kepada tuannya: “Bila kami terbang akan bersama dengan tuan. Bila kami mati pun akan mati bersam tuan. Bila kami hidup pun akan hidup bersama tuan. Dan tuan akan hidup. Sebab tuan telah menyelamatkan dan membesarkan kami. Sehingga berbagai cara kami akan lakukan demi tuan hidup. Jadi tuan jangan bersedih dan menangis lagi”.
Pagi itu amat cerah. Orang-orang yang ada disekitar pun makin ramai mengelilingi rumah adat yang akan diresmikan. Riuh tawa membahana di sekitar membuat kedua raja wali itu pun tak tenang. Sementara sang tuan hanya merenung nasib. Apa dirinya akan dibunuh atau selamat. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam hatinya ia berkata mungkin ini ajalku. Kalau pun ajalku biar burung-burungku selamat. Dalam keadaan termenung itu, sesekali ia terusik dengan riuh terbangnya kedua raja wali itu. Tiba-tiba ia dikagetkan dengan segerombolan orang memasuki kandang itu dan tanpa belaskasihan mereka membunuh dan melontarkan kata-kata kasar kepadanya sambil membuka tali yang terikat erat ditangannya itu sambil mendorongnya keluar dari kandang babi itu.
Ketika orang-orang tengah mendorong tuannya itu, tiba-tiba kedua burung raja wali itu menyambar dan membawa tuannya ke atas pohon kemiri dan menduduki tuannya pada seranting kemiri yang amat besar. Melihat hal itu orang-orang itu bertambah marah dan mengambil sumpit untuk membunuh mereka. Saat mereka memasang sumpit kedua burung raja wali itu memindahkan tuannya ke atas pohon kelapa yang sangat tinggi.
Mereka pun tidak kehilangan akal. Ketua Suku memerintahkan orang-orangnya mengambil kapak untuk menebang pohon kelapa itu. Kedua burung raja wali itu pun membiarkan orang-orang itu menebang pohon kelapa itu. Saat pohon kelapa itu hampir putus, kedua burung raja wali itu memindahkan tuannya dan mendudukinya pada sebuah batu besar di tengah laut. Lalu kedua burung raja wali itu terbang mengelilingi tuannya sambil memantau sekitar, apa masih ada upaya untuk mengikuti mereka. Karena situasi sudah aman maka kedua burung raja wali itu pun pergi mencari makanan dan minuman serta kelengkapan alat dapur lainnya demi tuannya.
Dalam melewatkan hari-hari sepekan, kedua burung raja wali itu selalu keluar mencari makanan hingga cukup demi menyambung hidup tuannya. Usai menyediakan stok makanan yang banyak, mereka pun meninggalkan tuannya di wilayah itu. Namun sebelum berangkat mereka berpesan kepada tuannya : “Kini kami akan meninggalkan tuan tetapi kami berharap tuan tidak boleh makan daging burung raja wali. Sebagai kenangan terimah ke tujuh helai bulu kami ini. Jika tuan makan daging burung raja wali maka kami tidak akan kembali lagi. Tetapi jika tuan tidak makan daging burung raja wali, maka kami akan datang di saat tuan menikah”. Jawab tuannya: “Saya akan mengabadikan pemberian ini dan berjanji sampai beberapa turun saya pun tidak akan makan dagingmu. Karena dagingmu adalah dagingku”. Mendengar perkataan tuannya, mereka langsung berangkat ke tempat yang tidak diketahui tuannya.
Menjelang pesta nikah tuannya, kedua burung raja wali itu pun datang. Kebetulan saat itu hadir pula kakak kandung yang pernah meninggalkan dia sendirian di tengah hutan. Namun ia berlaku seolah-olah tidak kenal sama kakaknya itu. Mereka dua baru saling kenal ketika tua-tua adat duduk berunding antara kedua keluarga mempelai berlangsung.
Hasil pernikahan itulah muncul Suku “Manuin Teme” yang sampai hari ini mereka pemali atau tidak makan daging burung raja wali dan sejenisnya. Suku Manuin Teme tinggal menyebar diseluruh wilayah pulau timor. Suku Manuin Teme sebagian mendiami wilayah Mandeu kecamatan Raimanuk Kabupaten Belu dan sebagian mendiami wilayah Oetfo Desa Bani-Bani Kecamatan Io Kufeu Kabupaten Malaka.
Diceritakan Oleh : Elisabeth Bete Neno
Ditulis Oleh Yakobus Molo Dini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H