Mohon tunggu...
Yakobus Molo Dini
Yakobus Molo Dini Mohon Tunggu... Guru - Data Diri

Berjalan sambil Menuai

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tradisi Napoen Ma'fena, sebagai Upaya Pencegahan Covid-19

27 Maret 2020   05:23 Diperbarui: 27 Maret 2020   11:34 1501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menghadapi penyebaran wabah penyakit Coronavirus Disease 2019 yang saat ini menjadi momok yang sangat ditakuti umat manusia di dunia,.

Masyarakat Bani-Bani yang terhimpun dalam tiga suku besar yakni, suku Naifio Manuin faif, Unsain Fantoni, Etunaek Manubanani dengan sub-sub suku yang mendiami wilayah Bani-bani dengan topografi wilayahnya berbukit-bukit yang terdiri dari dataran tinggi disebut Bani-Bani atas dan dataran rendah disebut Bani-Bani bawah, Kecamatan Io Kufeu, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur.

Kecamatan ini terdiri dari tujuh desa yakni desa Bani-Bani, desa Tunabesi, desa Kufeu, desa Ikan Tuanbeis, desa Tunmat, desa Fatoin dan desa Biau, dengan kehidupan tradisi budaya yang unik untuk dicermati dan didalami. 

Berbagai tradisi yang melekat erat dalam kepribadian orang Bani-Bani merupakan cerminan hidup “Atoen Bain-bain” yang tumbuh dan berkembang secara turun temurun sesuai nilai budaya yang dimilikinya.

Tak heran tradisi lama yang tumbuh bersama dan hidup dalam alam Bani-Bani tak pupus oleh waktu dan tak sirna dalam benak orang Bani-Bani sebagai citraan jati diri orang Bani-Bani yang tidak dimiliki oleh masyarakat lain di wilayah Timor. 

Tradisi tersebut kaya akan makna historis dan religius yang membuat Orang Bani-Bani sangat melekat dengan alam sekitarnya. Berbagai tradisi yang berkembang merupakan sebuah gambaran prosesi perjalanan umat manusia di awal penciptaan dan perjalanan umat manusia di bumi yang tengah kita pijaki.

Seperti tertulis dalam buku Kahlil Gibran yakni Kata-Kata Mutiara, yang mengatakan bahwa “Jika aku menulis pada pintuku 'Lepaskan tradisimu diluar, sebelum masuk ke dalam,' tak ada jiwa yang sudi mengunjungiku atau mengetuk pintuku."

Dasar inilah penulis ingin menyuguhkan sebuah tradisi lama yang selama ini tak tersentuh. Namun karena wabah penyakit Covid-19 yang sangat menakutkan seantero planet bumi maka para tua adat, fukun, tokoh masyarakat mulai duduk kumpul untuk mencari solusi pencegahan wabah penyakit berbahaya tersebut dengan cara “Napoen Ma’fena”, (bahasa dawan) artinya mengeluarkan beban berat. 

Dan penyakit Covid-19 merupakan beban berat bagi umat manusia yang harus dikeluarkan atau ditangkis dan juga sebagai upaya pembebasan umat manusia dari wabah yang menakutkan tersebut. 

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Napoen Ma’fena tersebut bukan baru pertama kali tetapi sering dilakukan bila terjadi wabah penyakit berbahaya melanda bumi ini.

Tradisi Napoen Ma’fena berawal dari dua atau tiga orang tua adat membawa seekor ayam kecil di Bakinaek sepenaek Liurai atau disebut bakiliurai desa Tunabesi untuk naskau (memohon restu) dalam bahasa dawan kepada “usi naek paha naek liurai neken satan menam reut bunum reut sa’ natok neam nasum neam aublenok beluwil beto maubes neken siam nana roenana nekem bearka nabar timau ma amfoan tan anemriana sa’in sisi mriana sa in”.

Artinya memohon kepada sang penjaga bumi liurai agar dapat menahan penyakit tidak baik yang mulai menular datang agar leluhur aublenok beluwil beto maubes yang terima dan pikul dan membawa sampai diujung timau dan amfoan karena disana nasi terbaik untuk dimakan dan daging enak untuk disantap. 

Usai memohon, ayam kecil itu ditancapkan pada sebatang kayu di bakinaek liurai sampai ayam kecil itu sendiri mati dan dilepaskan disitu. 

Perlu diketahui juga bahwa setiap batu yang tersusun di atas bakinaek sepenaek itu memiliki arti dan nama masing-masing. Jika untuk tangkis penyakit itu ada batunya tersendiri saat memohon, sesaji diletakkan di batu itu. 

Sementara untuk perang dan hal-hal lain juga ada batunya. Demikian dijelaskan oleh Petrus Neno dan Yohanes Kim saat upacara itu berlangsung.

Setelah upacara ini dilakukan, maka berkumpullah para tua adat dari beberapa suku untuk menyepakati berlangsungnya perarakan barang-barang bekas dari dalam rumah sebagai simbol mengeluarkan beban berat atau penyakit dari dalam rumah.

Dan ini dimulai dari batas wilayah matahari terbit menuju batas wilayah matahari terbenam dengan membawa seekor kambing jantan sebagai pemikul beban berat atau pemikul penyakit Covid -19 yang tengah mewabah agar cepat berlalu.

Perarakan barang-barang bekas berupa nyiru, tikar, bakul, pakaian, piring dan lainnya, ini pun hanya diikuti oleh kaum laki-laki tanpa kaum wanita dengan menggunakan sebatang kayu untuk memikul barang-barang bawaan itu keluar dari wilayah atau kampung tersebut dengan berjalan kaki pada sore harinya, Selasa (24/03).

Sepanjang perjalanan mereka meneriakkan yel-yel; palateeeee. Dan yang lainnya menyambung dengan teriakan: "auuuuuu". 

Ini dimaksudkan, agar segala sesuatu yang tidak baik dan sangat mengganggu atau membahayakan masyarakat segera menjauh atau keluar meninggalkan kampung setempat. Sama halnya dengan Covid-19 yang tengah mewabah agar cepat berlalu atau tidak memasuki wilayah Bani-bani.

Dok.Cik
Dok.Cik
Tradisi ini sebagai bentuk pembebasan masyarakat dari belenggu penyakit yang tengah mewabah dan menutupi masyarakat dari serangan penyakit berbahaya tersebut. Meskipun perjalanan jauh tetapi masyarakat terus berarak menuju matahari terbenam yakni sungai bubun sebagai batas wilayah. 

Di tempat inilah, masyarakat telah menyiapkan tenda–tenda kecil untuk menyimpan barang-barang bekas tepat di aliran sungai. Pada salah satu tenda digantung seekor kambing jantan yang dibawa itu. 

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Usai tiba di tempat tersebut, masyarakat ramai-ramai menyimpan barang-barang bekas di atas tenda-tenda yang sudah disiapkan. Pada tenda yang akan digantung kambing itu, tetua adat mengucapkan kata-kata ritual lalu menikam kambing dengan kayu yang salah satu ujungnya yang telah diruncing dan sudah disiapkan itu.

Entah kambing itu mati atau dimakan oleh binatang buas atau terbawa banjir itu bukan urusan lagi. Yang penting beban penyakit itu sudah dipikul oleh kambing sebagai pemikul beban berat yakni wabah Covid-19. 

Sebelum pulang kayu yang digunakan untuk memikul beban berat pun ditombaki ke arah kambing sebagai simbol pengusiran wabah penyakit Covid-19 atau sang kambinglah yang memberikan kelegaan kepada masyarakat agar wabah penyakit itu tidak memasuki wilayah Bani-Bani.

Tradisi ini diyakini secara luas oleh masyarakat Bani-Bani bahwa usai upacara Napoen Ma’fena, segala beban berat berupa penyakit yang tengah mewabah yakni Covid-19 akan berakhir bahkan tidak sampai atau tidak terjangkit kepada penghuni Bani-bani. Sehingga masyarakat pun bebas dari wabah penyakit yang ada. 

Ditulis Oleh : Yakobus Molo Din

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun