Konon, di tanah Timor hiduplah seorang janda yang mempunyai tiga orang anak. Yang pertama bertama bernama Un, yang dua bernama Nana, dan yang paling terakhir atau anak bungsu bernama Bui Ikun.
Sejak kecil kedua putra dan putri bungsu ini diasuh oleh ibunya tanpa bantuan sanak keluarga. Dia berjuang dengan segala macam cara demi memenuhi kebutuhan anak-anaknya sehari-hari. Meskipun ia seorang wanita. Dalam perjalanan kehidupan yang amat berat, janda ini berusaha keras memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sayangnya, tingkah laku dan perbuatan kedua anak putranya tidak seirama dengan perjuangan ibundanya. Un dan Nana menampakan gaya hidup seperti orang kaya dan tidak mengindahkan nasihat dan ajaran ibundanya.
Kadang kedua kakak memperlakukan Bui Ikun tidak senonoh. Namun Bui Ikun selalu sabar dan tetap membantu mereka, seperti mencuci pakaian walaupun ia tidak senang dengan perlakuan kedua kakaknya. Kedua kakak pun selalu melawan ibundanya dengan tidak mengindahkan nasihat ibundanya.
Pada suatu ketika sang ibu yang sudah tua ini jatuh sakit, Bui Ikun selalu setia melayani ibundanya dengan menyuapi bubur, memberi obat, membimbing ibundanya ke – WC, bahkan meninabobokan sang ibu. Pada suatu hari akhirnya sang ibu meninggal dunia menyusul sang suami yang telah lama meninggal.
Kini tinggallah mereka bertiga yang menghuni rumah peninggalan Bapak dan ibunya. Tetangga sekitar begitu besar menaruh belaskasihan terhadap Bui Ikun, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apak untuk membantunya. Mereka takut jika kedua sang kakak, bahkan memarahi sikap belas kasih itu.
Pada suatu hari Bui Ikun pergi mencuci pakaian di sebuah sumber air yang jernih dan bening, ketika itu Bui Ikun melihat Baginda Raja (Usi Pah) bersama keluarganya bertamasyah di lokasi tersebut. Bui Ikun sangat kagum atas tingkah laku dan perbuatan putra mahkota terhadap kedua orang tuanya dan adiknya.
Putra mahkota sangat ramah dan sopan dalam membimbing adiknya. Melihat keadaan tersebut, Bui Ikun sengaja berlama-lama mencuci pakaian sambil memperhatikan dan merenungkan kebahagiaan keluarga Usi Pah tersebut. Dalam hatinya ia Mengatakan : “Coba kakak-kakakku seperti itu baik. Pasti kami bahagia sekali meski Bapak dan Bunda telah pergi. Tapi, kenapa harus pikiran, semua telah terjadi”. Lalu ia berusaha menyuci pakaian agar cepat selesai.
Namun, ketika cuaca mendung, Baginda Pah bersama keluarga kerkemas ingin pulang karena takut jangan sampai terjadi hujan di jalan. Saat itu, Bui Ikun ingin bergegas pulang karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di rumah.
Ketika hendak pulang, ia menemukan sebuah kalung emas terdampar di tempat dimana putra mahkota duduk.” Waduh ini kepunyaan putra mahkota. Karena tadi saya lihat dia yang duduk disini”, katanya dalam hati. Lalu Bui Ikun mengambilnya dan bergegas ke rumah. Setibanya di rumah ia berganti pakaian. Dalam hatinya ia berkata,”Sudah tentu putra mahkota sedang mencari kalungnya”. Karena itu ia segera menuju istana. Sesampainya di sana, ia bertemu dengan pengawal istana. Lalu katanya kepada pengawal istana; “Bapak, saya mau bertemu dengan Baginda Usi Pah”. Jawab pengawal istana kepadanya; “ bisa Nona, silahkan”. Lalu katanya: “Terima kasih Bapak, atas waktu dan kesempatan untuk bertemu dengan Baginda Usi Pah”. Ketika ia masuk Baginda Usi Pah begitu kagum dengannya dan menyambutnya dengan baik. Lalu kata Baginda kepadanya,”Ada yang perlu saya bantu, Nak”? jawabnya kepada Baginda Usi Pah, “Tidak tuan, hamba menemukan sebuah kalung emas di lokasi keluarga Baginda Usi Pah bertamasyah. Mungkin, ini milik putra mahkota Baginda Usi Pah sambil ia menyerahkan kalung tersebut”.
Begitu melihat kalung yang diserahkan anak itu, Baginda Usi Pah begitu senang dan kagum atas kejujuran anak itu. Lalu kata Baginda Usi Pah, oh ya itu adalah kepunyaan putraku, sambil menerima kalung itu dari si anak itu. Karena kagum dengannya, tanya baginda kepadanya, “Siapa namamu,Nak? Jawannya, “Bui Ikun”, Baginda Usi Pah. Lebih jauh Baginda Usi Pah bertanya, “Siapa kedua orang tuamu? Jawabnya dengan polos, “Maaf Baginda Usi Pah, kedua orang tua hamba telah meninggal dunia”.
Sekarang siapa yang mengasuh, Nak? Tanya Baginda Usi Pah. Bui Ikun diam beberapa menit. Dan dalam bisikan hatinya bertanya, “Apakah saya harus menyangkal kedua kakakku? Ataukah harus mengakui kedua kakakku sebagai pengasuh? Akhirnya Bui Ikun mengambil keputusan untuk menyangkal kedua kakaknya. Karena selama ini kedua kakaknya tidak mengindahkan dirinya sebagai sang adik. Lalu jawab Bui Ikun, “ Maaf Baginda Usi Pah, hamba tidak bersama dengan siapa-siapa lagi. Hamba hanya seorang diri”. Baginda begitu berbelaskasihan terhadap Bui Ikun. Akhirnya Usi Pah mengambil dan mengangkat Bui Ikun sebagai putri angkatnya.
Diceritrakan kembali oleh : Elisabeth Bete Neno
Dirilis Oleh Yakobus M. Dini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H