Mohon tunggu...
Yakobus Molo Dini
Yakobus Molo Dini Mohon Tunggu... Guru - Data Diri

Berjalan sambil Menuai

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memahami Panggilan Guru sebagai Sebuah Perutusan

6 April 2019   02:06 Diperbarui: 6 April 2019   02:13 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam melaksanakan proses belajar mengajar kadang guru lebih banyak bertindak dalam kelas tanpa memahami dirinya sebagai yang diutus dalam menjala manusia dan menjadikan manusia yang lebih baik. Kadang guru marah karena anak tidak belajar, tidak membaca bahkan dikatakan bodoh.

Pada hematnya seorang guru yang berhasil adalah menjadikan seorang anak didik dari yang bodoh menjadi pintar, dan dari yang nakal menjadi sopan santun dan beretika. Bukan menjadikan yang sudah pintar menjadi pintar dan yang baik tetap baik dalam sikap dan karakter hanya demi mengejar prestasi sekolah sebagai sekolah favorit.

Asumsi diatas menandakan bahwa guru bertindak sebagai yang diutus sesungguhnya tidak nampak. Karena hanya diutus untuk orang pintar dan yang berjalan dijalan yang benar. Menjadi pernyataan, kemana mereka yang bodoh dan berjalan salah?

Apa yang bodoh tidak pintar lagi dan yang tidak berjalan salah tidak kembali pada rel yang benar? Ataukah yang tidak hadir sekolah tanpa pemberitahuan dibiarkan saja? Lalu bagaimana memahami perutusan guru dalam pendidikan anak?

Sesungguhnya, Ketika memahami tugas dan tanggung jawab terbersit sebuah jawaban dalam nurani yakni melekat  sebuah utusan dalam panggilannya. Terpanggil untuk menjadi guru bukan dipaksa menjadi guru.

Dalam panggilan itu terdapat makna perutusan diri yakni dipanggil sebagai guru yang memberi contoh dalam sikap dan bertutur kata maupun bertindak, dan dipanggil sebagai guru yang membimbing dan menuntun pada jalan yang baik dan benar. Dipanggil juga sebagai guru yang mendidik dan mengajar bukan saja di dalam kelas tetapi juga diluar kelas dalam memanusiakan manusia menjadi seorang manusia yang berkualitas.

Sebagai seorang manusia harus memahami tugas perutusan dirinya ditengah anak didik dengan tipe kepribadian yang berbeda. Tentunya sebagai utusan harus bertanggung jawab kepada aku-aku yang tengah melatih anak untuk berdiri dan berjalan. Memang sungguh berat tetapi ketika memulai pasti bisa dilakukannya dengan mudah asalkan berusaha menantang pekerjaan yang menantang.

Tentunya setiap aku-aku mempunyai niat dan motivasi dalam mendorong generasi yang tengah diasuhnya agar menjadi lebih baik  bukan hanya menerima gaji buta tanpa berbuat sesuatu kepada anak-anak, Seperti semut ketika melihat gula semua rame-rame makan.

Apa terjadi pada guru-guru jaman sekarang? Tentu setiap guru memilih dan memilah yang terbaik sesuai nurani yang dimilikinya. Dengan melihat pada proses menanam sebuah tanaman sampai bertumbuh dan berkembang hingga berbuah. Bukan sekedar membuang bibit dan tumbuh seperti rumput yang tumbuh di padang ilalang.

Saya yakin   setiap "aku-aku" mempunyai motivasi tertentu untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang guru yang mengabdi tanpa menghitung untung rugi bahkan uang lelah atau honornya sampai empat lima bulan baru terima tetapi tak seberapa dengan gaji diperusahaan atau pekerjaan lain. Menyadari hal tersebut butuh kesabaran dan motivasi yang tinggi dari "aku-aku"  demi anak-anak didik.

Memang benar apa yang dikatakan H.W.Beecher dalam sebuah artikelnya pernah mengungkit hal motivasi. Bahwa motivasi itu penting dimiliki setiap individu. Sebab ketika kita tidak memiliki motivasi kita seakan-akan seperti "kapal tanpa motor" atau "balon tanpa gas". Karena itu, Beecher menyarankan agar carilah hal yang memberikan motif sehingga kita dapat menekan tombol, membuka pintu menuju dunia keajaiban.

Pertanyaan mengganjal, "kunci manakah yang paling tepat guna membuka dunia keajaiban itu?"  Kembali pada "aku-aku" yang menyadari akan tugas perutusannya. Dalam diri seorang guru melekat tiga jabatan besar yaitu

1.  Guru sebagai Raja

Guru sebagai Raja berarti guru adalah contoh, teladan  bagai anak didik dan masyarakat dan menjadi cermin bagi orang lain. Baik bersikap, bertutur kata dan perilaku hidupnya. Bukan guru yang mabuk-mabukan, isap rokok dihadapan anak-anak, jalan pakai celana tarobek, main judi dan tukang selingkuh bahkan mengambil hak-hak orang kecil demi memperkaya diri.  Bahkan berbicara dengan anak selalu mengeluarkan kata-kata kotor yang tidak pantas terdengar oleh anak-anak.

2. Guru sebagai Nabi

Guru sebagai Nabi yang diutus ketengah umat manusia. Baik yang jahat maupun yang baik. Bahkan diutus ketengah-tengah  serigala pun ia mau. Sebab guru adalah pembimbing dan penuntun. Dimana guru dengan berbagai cara mampu membimbing dan mengarahkan, menuntun dengan menunjukan jalan terbaik yang harus dilalui. Bukan anak minta ikan diberikan ular dan anak minta nasi dikasih batu.

Berarti sebagai seorang guru harus mampu membentuk anak didik dari yang bodoh menjadi pintar dan yang pintar tetap pintar. Sebab anak-anak yang masih polos dan murni pasti akan mengikuti teladan. Jangan sampai anak-anak itu sebenarnya baik dan pintar tetapi salah menanamkan kepada anak maka anak menjadi brutal dan tidak patuh pada orang tua dan para guru.

3. Guru sebagai Rasul

Guru sebagai rasul berarti guru harus mampu mendidik dan mengajar anak-anak agar menjadi anak yang pintar dan baik. Mengajar dan mendidik bukan hanya didepan kelas tetapi diluar kelas. Sebagai contoh bahwa jika anak bodoh maka apa yang harus dilakukan agar pintar. Baik itu remedial, pendampingan dan kunjungan rumah demi berhasilnya anak.

Dalam tiga jabatan yang diemban ini bersinar seseorang yang tengah berada bersama dan menjadikan anak didik untuk menjadi baik dan berakhlak baru disebut guru. Maka tidak heran kalau guru didepan memberi contoh, ditengah memberi motivasi dan bimbingan serta dibelakang memberi dorongan agar mampu mengejar cita-cita maupun menjadi yang baik dalam masyarakat.

Maka tidak salah kalau sering saya katakan kepada anak-anak bahwa kamu tidak boleh berada disamping saya karena nanti saya mengesampingkan kamu. Kamu juga tidak boleh ada dibelakang saya karena sesungguhnya saya tidak akan dengar kamu. Serta jangan ada didepan saya sebab saya tidak mungkin ikut kamu. Tetapi jika kita sama-sama berjalan maka kita akan sampai pada tujuan. Karena ketika lelah, kita akan saling menyemangati agar tetap fokus pada sebuah tujuan.

Ditulis Oleh Yakobus Molo Dini

Guru SMPN Satap Nitmalak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun