Mohon tunggu...
Moko Kusdiarto
Moko Kusdiarto Mohon Tunggu... Guru - The true writer has nothing to say. What counts is the way he says it

No walking stick is needed to wander the wild of the mind, the high country of the heart.

Selanjutnya

Tutup

Film

Review Film "Togo"

13 April 2021   12:06 Diperbarui: 13 April 2021   13:54 1880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Pukul 02.30 dini hari tanggal 13 Maret 1964, Kitty Genovese bergegas pulang dari tempat kerjanya menuju gedung apartemen ia tinggal di Queen, New York. Genovese tidak menyadari bahwa Winston Moseley sudah mengintai dengan belati terhunus di tangan. Saat Genovese tinggal beberapa langkah memasuki apartemennya, Moseley menikamnya dari belakang. Genovese tersungkur menghembuskan ajal.
Kasus Genovese menjadi terkenal karena konon ada 38 orang, kebanyakan tetangga apartemen, enggan mengulurkan bantuan. Mereka tak mau direpotkan oleh persoalan orang lain. Kasus ini menjadi rujukan atas situasi tidak peduli, apatis, dan lebih mementingkan kepentingan sendiri.

Dalam pesan Paskah 2020 "Urbi et Orbi", Paus Fransiskus menyatakan,"Ketidakpedulian, egoisme, perpecahan, dan kelupaan bukanlah kata-kata yang ingin kita dengar saat ini." Badai pandemi Covid-19 yang merusak sendi-sendi kehidupan harusnya menjadi ajang untuk berbagi. "Kita semua perlu mengenali diri sebagai bagian dari satu keluarga yang saling mendukung", tambah Paus.

Ketika wabah difteri menyerang kota Nome, Alaska pada 1925, ratusan penduduk terancam mati jika tidak segera mendapat pengobatan. Celakanya saat itu cuaca tidak mendukung lantaran badai salju membuat jalur transportasi terhenti. Nome mengalami lockdown alami. Satu-satunya alat transportasi yang dapat menembus badai adalah kereta salju yang ditarik oleh para anjing.

Leonhard Seppala yang memiliki bisnis transportasi kereta salju awalnya enggan ketika diminta oleh walikota Nome untuk mengambil vaksin difteri di kota Shaktoolik yang berjarak ratusan kilometer. Namun ketika menyaksikan anak-anak yang menderita di rumah sakit, hati Seppala tergerak oleh belas kasih. Ia mengambil risiko besar bertaruh nyawa untuk membawa vaksin ke kota Nome.

Film Togo sangat dramatis menggambarkan perjuangan Seppala bersama dengan Togo, anjing yang memimpin teman-temannya berlari mengarungi ganasnya padang es. Usaha mereka membuahkan hasil sehingga ratusan nyawa terselamatkan oleh vaksin difteri.

Tragisnya sosok yang dielu-elukan sebagai pahlawan bukanlah Togo, melainkan anjing Balto bersama tim Gunnar Kaasen, yang memang mengambil alih estafet pembawa vaksin hingga sampai di Nome. Balto bahkan mendapat kehormatan dengan dibuatkan patung di tengah kota New York.

Film Togo produksi Walt Disney (2019) berusaha meluruskan sejarah sosok anjing yang pantas disebut pahlawan. Togo bersama tim Seppala melewati jarak lebih dari 480 kilometer sementara tim Balto "tinggal" melanjutkan sisa perjalanan sejauh 50 km.

Di tengah badai pandemi Covid-19 saat ini, banyak pahlawan kehidupan yang rela mengurbankan diri bertaruh nyawa, menyingkirkan apatisme dan egoisme demi menyelamatkan nyawa pasien positif virus corona. Saya yakin mereka tidak mencari nama, apalagi pamrih untuk dijadikan patung. Mereka melakoni sepenuhnya ujaran Erich Fromm, "To die is poignantly bitter, but the idea of having to die without having lived is unbearable."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun