Belum sekolah? Belum kuliah? Belum! Kapan sekolah? Kapan kuliah? Nanti, sesudah berhasil membawa ini-itu dan tahan di bentak-bentak ini-itu. Ah, lalui saja ya. Badai pasti berlalu kok, asal kalian punya niatan dan tindakan tuk membungkamnya.
MOS, biasa kita menyebutnya. Ia adalah tokoh antagonis: Pemarah, kejam, tak masuk akal, dll. Namun, apa yang membuatnya kejam dan tak masuk akal? Tentu, yakni cara pengenalannya yang bermodel plonco(baik verbal maupun fisik) dan atribut-atribut aneh(tak wajar) yang menyertainya.
Nah, MOS seperti inilah yang menimbulkan banyak kecaman, khususnya dari kalangan para intelektual(matang atau setengah matang atau belum matang). Mereka menganggap bahwa MOS sebaiknya “fokus” dijadikan ajang pengenalan terhadap kegiatan-kegiatan dalam sekolah-kampus, beserta kumpulan tips dan strategi tuk menjadi pelajar yang baik.
“Saya-pun tertawa, padahal dulunya mengecam.”
Langsung saja: saya mendukung kekerasan dalam MOS, itu. Tetapi bukan sekedar kekerasan yang hanya marah-marah dan mukul-mukul tanpa arti, melainkan kekerasan yang dijadikan simbol, suatu simbol yang mewakili penindasan(dunia luar). Kekerasan adalah perwakilan/penanda/simbol dari penindasan dunia luar, yang kejam. Oleh itu kekerasan adalah realita/fakta, bukan dibuat-buat. Saya mendukung segala hal yang berkaitan dengan realita. Kemudian, setelah calon siswa menyadari dan memandang kekerasan dalam MOS hanyalah sebatas simbol penindasan, lalu terhenti disitu: ini adalah suatu kesalahan terbesar. Jangan diam! Kita harus mengubahnya, lalu meniadakannya sebagai titik puncaknya.
Nah, keberhasilan meniadakan atau memberontak terhadap kekerasan-penindasan inilah, yang menjadi acuan lulus-tidaknya “si siswa dan generasinya.” Jika calon siswa dan generasinya hanya sekedar menuruti, pasrah, dan adem-ayem dengan penindasan yang dilakukan terhadapnya: Mereka gagal(harus mengulang tahun depan). Namun jika calon siswa berhasil memberontak dan meniadakan penindasan: Mereka berhasil, revolusioner. Jadi sekali lagi, kekerasan-penindasan dalam MOS itu perlu, pertama-tama dalam arti sebagai simbol atau representasi realita yang sebenarnya. Kedua, sebagai perangsang munculnya jiwa pemberontak-revolusioner dalam diri calon siswa dan generasinya. Ketiga, dijadikan acuan kelulusan MOS jika mereka berhasil meniadakan penindasan-kekerasan. Jadi kekerasan-penindasan dalam MOS disini lebih mirip semacam drama realis-lah.
“Saya-pun tertawa, padahal dulunya mengecam.”
Apa lagi? Hah? Jawab dek! Kamu tahu apa yang belum lengkap? Iya kak. Apa? Jembut saya belum dikasih bando.
Ya, selain kekerasan-penindasan yang membuat jantung dan peler degdeg-an. Atribut nyeleneh dalam MOS adalah pengimbang, ia lucu:gila. Namun lagi-lagi, masih saja banyak kalangan yang tak setuju dengan hal semacam ini. “Gak nyambung-lah, gk penting lah, kurang gawean, anjing.” Menurut saya sih, kalangan yang tak setuju dengan hal ini adalah mereka yang tak mampu memahami pentingnya kreatifitas dan mendukung kewajaran. Lihat saja, kardus, jerigen, tali rafia, daun dsb. Ini kreatifitas bung! Ini adalah alternatif, selain kemeja putih dan celana kain hitam: yang dijadikan keuntungan oleh kapitalis dengan menindas jutaan buruh. Apa mereka(golongan yang menolak) yang katanya kritis justru malah mendukung kapitalisme berkembang? Jawab sendiri. Singkirkan!
Kembali, dengan atribut yang aneh-aneh tersebut. Saya mendukung! Namun sedikit mengoreksi. Aturan yang berbunyi: calon siswa harus menuruti ketentuan atribut yang sudah ditentukan, diganti dengan bunyi: kreatifitas bebas masing-masing calon siswa dengan satu syarat”dilarang membeli bahan atribut di minimarket, mall, dll.”(karena mendukung penindasan buruh) Kemudian jika telah selesai digarap, atribut yang dirasa paling nyaman dan kreatif: dipatenkan dan diproduksi secara masal(hanya untuk dipakai, bukan ditukar) menjadi seragam resmi sekolah.
“Saya-pun tertawa, padahal dulunya mengecam.”
Jadi, Pak Anies Baswedan yang baik. Saya kok mulai ragu ya, - “ketika bapak mengawasi MOS, bapak menyuruh para calon siswa untuk mencopot atribut dan melarang penindasan-kekerasan” – Saya berfikir, apa jangan-jangan bapak Anis diam-terangan mau menyingkirkan jiwa pemberontak-revolusioner dan mendukung seragam siap-pakai yang otomatis menyingkirkan ke-kreatifan generasi muda ya? Hehe.
Jangan disingkirkan pak, dimanfaatkan. Kita harus menyerang kapitalisme dari dalam, bukan dari luar.
Belum sekolah? Belum kuliah? Belum! Kapan sekolah? Kapan kuliah? Nanti, sesudah berhasil membawa ini-itu dan tahan di bentak-bentak ini-itu. Ah, lalui saja ya. Badai pasti berlalu kok, asal kalian punya niatan dan tindakan tuk membungkamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H