Mohon tunggu...
Mokhsa Imanahatu
Mokhsa Imanahatu Mohon Tunggu... -

Pe'nafsu kebijaksanaan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Revolusi Kaum Pangkas

23 Juli 2015   23:28 Diperbarui: 24 Juli 2015   00:01 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bermula, saat malam. Masyarakat desa bergumpul, merayakan kemenangan. Kembang api, jajanan, serta kemabukan yang tak luput menjadi saksi menyatukan, sekaligus memisahkan: para tetua yang asyik berdzikir hingga malam, dan anak muda yang teler di persimpangan jalan. Sementara aku sendirian, di tengah. Menikamati malam, rembulan, dan angin malam.

 

Aku cakrawala, batas yang mencari “pemandangan”.

 

Sejauh yang ku pandang, mereka semua dilanda kegairahan. Masjid yang bertebaran: mewakili semangat para tetua, dan botol oplosan yang berserakan: menandakan eksistensi anak muda. Ah, mereka semua tenggelam dalam religiusitasnya masing-masing, mimpi dan khayalan. Tak ada yang sadar! Nalar tak laku lagi! Expired! Sedangkan aku hanya, tak bermimpi dan tak bernalar, ketiadaan.

 

Aku kematian, namun hidup. Satu-satunya kematian dalam kehidupan.

 

Lihatlah! Kataku. Mereka semua hidup, ah leibenz welt. Para tetua yang geleng-geleng dalam jemarinya, tasbih. Merayakan hidup dalam penyerahan, insyaallah. Jika Allah berkehendak. Kepuasan batin dalam bayangan, kiblat. Dan, pewahyuan yang menjadi Kebenaran. Ah, wahyu ialah sumber kemabukan, ekstase iman. Seperti beribu tahun lalu, ketika ada seseorang yang bertapa, diutus tuhan menjadi kekasihnya, dan kita semua mengikutinya. Hmm, apa hanya sumber khayalan atau memang kebenaran? Sebab mimpi dan khayalan ialah sebatas keinginan yang tak terwujudkan. Keinginan, keinginan, keinginan 33x. Keinginan jauh dari kebenaran, namun dekat dengan kehidupan. Tak ada keinginan, tak ada kehidupan. Aku. Tak ada yang benar selagi hidup, kecuali kematian. Sebab itu aku kematian dalam kehidupan.

 

Keinginan, keinginan, keinginan 33x

 

Lalu, usai berdzikir dalam keinginan: para tetua beranjak pulang. Namun mereka kebingungan, sandalnya menghilang. Lantas, kepulangan menemani mereka dengan kaki telanjang, kesucian yang bertelanjang kaki. Lama berjalan, para tetua melewati persimpangan: anak muda sedang kemabukan, alkohol dan obat-obatan. Membuat para tetua kemarahan, sabar dan kesuciannya memudar dari keningnya. Mengambil kayu, memukuli anak muda, dan meyuruhnya pulang. Namun, anak muda justru kebingungan. Pandangannya sayu, dan mengawang. Anak muda tak peduli dengan tetua: mereka tetap melanjutkan minuman dan malam. Kemudian para tetua menyerah pulang, sebelum meninggalkan. Anak muda berteriak, Terima kasih dzikir dan sandal epikmu! Lantas para tetua kembali, dalam batin “mereka to yang mengambil sandal dan kesucian umat.” Lalu, terlibatlah perkelahian. Sengit, antara golongan mabuk dzikir versus golongan mabuk khamer. Sementara aku, hanya memandang.

 

Aku berdiri di seberang persimpangan, mengantuk sambil mengerutkan dahi.

 

Mereka semua sama saja, sama sama mabuk! Wahyu dan khayalan yang disebarkan tokoh para tetua membuat mereka mabuk secara tak langsung, pun khayalan dan kebebasan akibat minuman keras dan obat-obatan membuat anak muda mabuk secara langsung jua. Tak ada perbedaan! Bagi mereka yang hidup berdasarkan kemabukan, ataupun dalam kemabukan.

 

Lantas para tetua dan anak muda yang berkelahi: mati bergandengan tangan di persimpangan jalan depan tempat peribadatan

 

Peristiwa itu-pun menjadi gempar esok pagi, dengan ditemukannya mayat berserakan di persimpangan jalan depan tempat peribadatan. Masyarakat desapun mengerubungi serangkaian mayat tersebut bak lalat hijau. Lalu mencoba mencari tahu, menanyakan kepada seluruh masyarakat tentang peristiwa tersebut. Tak ada yang tahu, semua diam. Hening, sepi.

Namun tiba-tiba seseorang mendekat, dan berkata “ maaf, ini semua hanya khayalanku saja, jangan coba-coba diseriusi ataupun diikuti, karena sekali-lagi, khayalan adalah sumber kemabukan,” apalagi yang membuat khayalan adalah seseorang yang sedang bingung mencari tempat pangkas jembut.

 

Selamat hari anak nasional, semoga anak dapat terus menginspirasi dan menjadi sumber inspirasi, bukan malah jadi sumber khayalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun