Semalam, sesaat setelah para petani merebahkan cangkul dan aritnya, ia berdoa “bismika allahuma ahya wabismika amud”, bukan tuk tidur, melainkan tuk membersihkan kaki dan keringatnya yang tak sempat dibasuh oleh sumur kecilnya yang kehausan air mata. Toh, hal itu sudah maklum dan menyehari dalam hidup mereka. Para petani tak lagi percaya pada kesucian mata airnya, hingga doa membantunya tuk melupakan banyaknya air mata yang telah mereka tanam-teteskan dalam sawah dan sumurnya.
“Lantas, doa dan air mata itu menjadi penutup perenungannya sebelum darah dan nanah menggantikannya pada esok pagi hari.”
Peristiwa itu terjadi saat tengah malam, tepatnya disela-sela dengkuran para petani. Gunung raung telah memakan korban. Ia meledak, meraung lagi tuk sekian kalinya. Namun, amarah sang raung tersebut tak terdengar sama sekali oleh telinga dan ketiak para petani. Mereka malah asik bermimpi panen, pesta, hujan, dan basah. Dilain sisi seseorang yang pertama melihat peristiwa tersebut yakni pemuda, tidak dengan segera melapor dan membangunkan warga sekitar, pemuda tersebut malahan hanya menggelengkan kepala dan kemaluannya pada kekasihnya. Ia tak panik atupun takut, ia hanya cemas. Cemas akan ancaman amarah raung yang dirasa akan menceraikan ia dan kekasihnya, angin malam. Ya, begitulah pemuda, dengan kepedulian besarnya pada angin malam ketimbang keringat pak tani. Dengan itu, pemuda telah mati. Izrail telah mencabut unsur kemanusian pemuda, kepedulian-empati.
Lalu, dengan kecupan setengah candu, sang pemuda menisyaratkan perpisahannya pada kekasih, ia pulang. Langkah gontai menemaninya sepanjang perjalanan pulang. Dalam perjalanannya terlihat pepohonan, tumbuhan, dan rembulan mulai tak sudi menatapnya, namun sang pemuda tetap berjalan, malahan ia berlari sekarang. Dengan pelariannya, satu, dua desa mulai terlewati, namun belum terlihat tanda-tanda kehidupan. Para petani dan orang-orang desa lainnya masih sibuk ditelan kemimpian. Semakin kencang, ia telah mencapai kaki gunung. Ia terobos, tak peduli pada harimau dan singa yang menakutinya, ia terus berlari. Setelah hampir 4 jam berlari, akhirnya ia sampai. Rumahnya terlihat, megah. Pintu, jendela, dan garasinya terbuka. Berwarna merah lahar, magma. Rumahnya, kawah gunung raung.
Sebelum berpulang, ia menangis. Menangisi air mata yang ia ambil setiap harinya di sumur pak tani. Tangisan itu membanjiri jembut hingga ketiaknya. Dua jam ia menangis, sampai subuh menyudahinya. Lalu saat “hayyalal fala” berkumandang, ia melompat ke dalam rumahnya. Habis! Mati! Namun, air matanya meninggalkan sedikit jejak pada kita. Air mata pemuda abadi, ia membentuk sajak:
aku rasa hidup-ku sia-sia
aku adalah yang lain dari kawanannya
aku adalah asing
aku yalah sepi dan sunyi dari kemanusiannya
Tuk itu, aku tak mampu lagi
aku mau pulang
kekasihku, angin malam
manusiaku, para petani
aku pulang dulu
tak usah dikahawatirkan
aku pulang bukan tanpa sebab
aku hanya berkorban, nanti aku hidup lagi
Pengorbanan ini akan menjadikan aku, seorang yang jahat,
benar-benar jahat
tunggu saja: esok pagi, saat rumah-ku meraung,
aku akan datang menyampaikan salam pada kalian
"Barang siapa yang mendengar dan menghirupnya
debu, lahar, dan magma
ia akan menjadi aku: asing dan tanpa kemanusiaan"
Lantas, esok harinya. Ketika para petani terbangun, mereka membersihkan kemaluannya dengan doa serta keringatnya, karena tak punya tisu.
“Setelah itu, mereka pergi ke ladang. Tentu secara tak sengaja mereka menghirup abu, aku.”
Lantas! Mereka: “menyemprot makanan dengan racun, membanggakan handphone, motor, akik dalam kawanannya, dan berbelanja dengan gembira diatas air mata dan keringat kawanannya, dirinya(alfa/indomaret, matahari, carefour dll).”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H