Dalam hukum islam bahwa Asas pada kedudukan seorang anak ditentukan oleh sah atau tidaknya perkawinan yang dilakukan orang tuanya. Begitu pentingnya peranan perkawinan dalam menentukan status dan kedudukan seorang anak di hadapan hukum, sehingga dalam melakukan pembahasan tentang persoalan status dan kedudukan anak kita tidak dapat melepaskan diri dari pelajaran tentang perkawinan hukum dan segala aspeknya termasuk segala persyaratan yang wajib dipenuhi dalam melangsungkan perkawinan. Pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan ialah "ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Kemudian disini juga berisikan tentang penentuan nasab anak dalam hukum islam
1) Â Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah . Â Menurut Imam Malik dan Imam Syafi'i, anak yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya. Â Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan , maka anak itu dinasabkan kepada ibunya . Â Berbeda dengan pendapat itu, menurut Imam Abu Hanifah, bahwa anak di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah. Â Perbedaan pendapat ini disebabkan karena terjadinya beda pandangan dalam mengartikan lafaz fiarsy, dalam hadist nabi: "Anak itu bagi pemilik tilam dan bagi pezina adalah hukum rajam". Â Mayoritas ulama mengaitkan lafadz firasy menunjukkan kepada perempuan, yang diambilkan seperti dari tingkah iftirasy (duduk ayak). Â Namun ada juga ulama yang mengartikan kepada laki-laki (bapak).
2) Anak yang dibuahi dan lahir diluar pernikahan yang sah. Status anak diluar nikah dalam kategori yang kedua, disamakan statusnya dengan anak zina dan anak li'an, oleh karena itu maka mempunyai akibat hukum sebagai berikut :
 a. Tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya.  Anak itu hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.  Bapaknya tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya.  Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum.
b. Tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kerwarisan .
c. Bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah.
Kemudian pada penjelasan bab 4 berisi tentang anak luar kawin dalam pandangan hukum adat
Masyarakat Indonesia tersusun oleh berbagai persekutuan wilayah hukum adat, dimana masing-masing memiliki karakteristik khusus sebagai identitas yang membedakan antara yang satu dengan yang lain. Â Menurut Van Vollenhoven masyarakat adat di Indonesia dibagi menjadi sembilan belas daerah lingkungan hukum adat (adatrechtskringen) antara lain meliputi:
1. Aceh
2. Minangkabau beserta Mentawai