Awal September merupakan waktu yang sarat bagi pendidik (baca: guru) dan tenaga kependidikan, setidaknya bagi sekolah yang mulai menerapkan belajar tatap muka, khususnya sekolah di mana penulis mengajar. Setelah ada instruksi dari Gubernur, pada awal September, yang membuka kran pada sekolah-sekolah menengah tingkat atas mengadakan pembelajaran tatap muka untuk daerah-daerah dengan status zona kuning dan hijau.Â
Tentu saja tidak serta merta pembelajaran tatap muka sama persis sama dengan waktu di masa normal, kurang lebih 2 tahun lalu. Pembelajaran di sini masih bersifat terbatas, artinya sekolah dapat melaksanakan pembelajaran tatap muka dengan protokol kesehatan yang ketat. Pembelajaran tatap muka terbatas (PTMT) ini mensyaratkan adanya pernyataan orang tua untuk mengizinkan anak-anaknya mengikuti PTMT. Jika orang tua siswa tidak menghendaki, anaknya tetap diperbolehkan mengikuti pembelajaran di rumah.
Syarat berikutnya, selama PTMT kapasitas kelas maksimal hanya diisi 50% yang memiliki konsekuensi kelas-kelas rombongan belajar akan dibagi 2, kelas A dan B. Misalnya kelas X IPA 1 akan terbagi menjadi kelas X IPA 1A dan X IPA 1B. Pada awalnya Mas Nadiem,Â
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, memberi pernyataan bahwa vaksin menjadi salah satu syarat untuk siswa dapat mengikuti pembelajaran tatap muka di sekolah. Di mana kebijakan ini pada akhirnya dihilangkan. Selebihnya, syarat yang harus dipenuhi berupa protokol yang sudah umum kita ketahui: cek suhu sebelum masuk gerbang, cuci tangan menggunakan sabun, penyediaan hand sanitizer di setiap ruang, jaga jarak, dan penggunaan masker.
Pemberlakuan PTMT pada sekolah menengah atas dan sederajat di provinsi kami sontak disambut riang gembira hampir oleh semua kalangan, tidak terkecuali oleh Mamang cilok yang selama ini selalu mangkal di depan gerbang sekolah. Harapannya untuk bisa membeli motor metik yang telah lama pupus, sekarang muncul kembali. Orang tua-orang tua  yang sudah pusing tujuh keliling dengan kegiatan belajar daring anaknya bisa sedikit bernapas lega.
Bayangkan saja kesibukan mereka ketika kegiatan keseharian saja sudah menyita waktu banyak, ditambah dengan kewajiban tambahan: mengawasi anak-anaknya belajar, memenuhi kuota internet agar belajarnya tetap berjalan baik, dan sebagian lainnya harus mengajarkan kembali apa yang anak-anaknya pelajari. Begitu pula dengan guru-guru yang selama ini merasa terbebani secara moral, bagaimana susahnya mengadakan kegiatan belajar, bukan hanya mengajar, yaitu mentransfer ilmu pengetahuan tok, tetapi mendidik bagaimana siswa berperilaku, berbudi pekerti, serta memiliki tata krama yang sopan dan santun.
Dilihat dari teori pendidikan, PTMT termasuk ke dalam pembelajaran model blended learning, yaitu kegiatan belajar yang dilaksanakan secara campuran, kombinasi antara daring dan tatap muka langsung, dilaksanakan pada waktu yang berbeda (pelaksanaannya tidak bersamaan). Pada praktiknya, setiap siswa akan mendapatkan materi pelajaran secara daring, juga mendapatkan materi pada saat tatap muka dengan materi yang berbeda di antara keduanya. Alih-alih memilih belajar secara daring atau tatap muka langsung, siswa harus mengikuti kegiatan belajar dengan kedua cara tersebut.
Dengan diberlakukannya PTMT atau blended learning pada sekolah-sekolah tertentu, tentu saja menjadi anugerah yang patut disyukuri sekaligus menjadi beban yang semakin berat bagi para guru, tenaga kependidikan, sekaligus orang tua yang mau tidak mau harus diterima sebagai konsekuensi dari PTMT. Beberapa anugerah yang bisa didapatkan dari PTMT, seperti:
1. Pengawasan dan kontrol guru
Pembelajaran daring menyisakan banyak pekerjaan rumah bagi institusi pendidikan, di mana siswa tidak dapat secara langsung dikontrol dan diperhatikan dalam hal belajar, perilaku, dan budi pekertinya. Diberlakukannya PTMT memberikan ruang untuk guru melihat langsung perkembangan pengetahuan dan afektif setiap anak didiknya dan dapat melakukan intervensi yang tepat. Hal ini sangat penting, karena hal yang lebih penting dari pengetahuan salah satunya adalah budi pekerti.