Mohon tunggu...
reimonmenulis
reimonmenulis Mohon Tunggu... Seniman - anak sma

terkadang saya berfikir

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Di Mana Tanah Pandeglang Dipijak, Di Situ Persaudaraan Dijunjung

21 November 2024   23:08 Diperbarui: 22 November 2024   03:15 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa Kelas 12 SMA Kolese Kanisius berdinamika dengan santri-santriwati Al-Falah Pandeglang. dokpri

"Agar persatuan dan kepedulian tak makin pudar, teruslah menjunjung tinggi sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia." -Bung Hatta, 1946.


Sebuah Dunia Baru di Pondok Pesantren Al-Falah Pandeglang

Pondok Pesantren Al-Falah Pandeglang membuka pintu menuju dunia yang berbeda, sebuah tempat yang memadukan kebersamaan, dan nilai-nilai  kesederhanaan dalam sukacita. Jujur, saya pun pesimis nan cemas akan perbedaan yang akan saya hadapi. Tembok budaya, ras dan agama yang melintang membuat ku niscaya akan persaudaraan di pesantren yang akan ku jelajah. 

Namun, ketika pertama kali melangkahkan kaki di tanah Pondok Pesantren Al-Falah Pandeglang, suasana kehangatan segera menyapa. Sembari beliau mengajak berdiskusi tentang kepercayaan, agama, dan makna kehidupan, membuat setiap orang merasa diterima. Kehidupan di Al-Falah dimulai sejak dini hari, ketika para santri bersama-sama mengaji, suara ayat-ayat suci memenuhi udara, menciptakan suasana khusyuk dan damai.

Bertemu dengan para santri dan santriwati adalah momen khusyuk bagi saya. Meski fasilitasnya sederhana, kebersamaan terasa begitu nyata. Para santri berbagi makanan dalam tradisi liwetan, berbincang, bermain, dan bercanda di sela waktu mereka. Bahkan ketika malam tiba, tidur di atas lantai dingin menjadi pengalaman yang justru mengajarkan rasa syukur. 

Tidak ada gadget atau kebebasan tanpa arah, tetapi ada ikatan kuat yang menguatkan setiap langkah mereka. Pondok ini bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang untuk menanamkan disiplin, rasa syukur, dan kebersamaan yang akan terpatri selamanya.

Pada hari kedua, kami mengikuti apa yang dihidupi para santri dan santriwati di pesantren Al Falah. Bangun pukul empat pagi, mengikuti pengajian, makan bersama, belajar, hingga tidur di waktu yang sama setiap harinya. Setelah makan pagi, salah satu momen yang sangat menyentuh hati saya adalah ketika melihat mereka memakan sisa makanan yang tidak kami habiskan. 

Mereka melakukannya tanpa rasa rendah diri atau keluhan, seolah kesederhanaan menjadi sumber kebahagiaan yang tulus. Namun, saat kunjungan ke sekolah mereka, saya menyadari banyak tantangan yang dihadapi, terutama dalam pelajaran bahasa Inggris. Saya mendapati bahwa kesalahan grammar masih sering terjadi, menunjukkan adanya keterbatasan akses terhadap pengajaran bahasa yang berkualitas.

Di sore itu, suasana terasa begitu akrab saat kami pergi ke sawah untuk membuat dak isi air. Di bawah sinar matahari terik yang mulai memudar, kami bekerja sama dengan para santri memotong bambu, menyusunnya dengan teliti, dan memastikan konstruksinya kokoh. Selama proses itu, canda tawa mengalir tanpa henti, mencairkan rasa canggung yang mungkin sempat ada di awal pertemuan kami. 

Mereka dengan sabar mengajarkan teknik mengolah sumber daya alam---seperti cara memotong bambu agar rapi atau bagaimana menyusunnya supaya tidak bocor. Kami berbagi pengalaman, bercakap tentang kehidupan, dan mendalami nilai kerja keras dalam kesederhanaan. Persaudaraan terasa begitu erat, tidak hanya karena kerja sama fisik, tetapi juga karena nilai kebersamaan yang tumbuh di tengah sore yang damai itu.

Malam hari itu menjadi momen yang sangat berkesan, karena merupakan malam terakhir saya di pesantren. Saya dan teman-teman kobong duduk bersama, berbagi cerita yang melintasi berbagai topik. Kami mulai membahas tentang agama, lalu perlahan merambah ke adat istiadat, hingga ke hal-hal ringan tentang persahabatan seperti asal-usul, keluarga, hobi, dan impian. 

Sambil menyeruput segelas demi segelas kopi Kapal Api pahit, suasana menjadi semakin akrab. Rasanya, 42 jam yang telah berlalu terasa begitu singkat. Namun, dalam waktu yang singkat itu, kami berhasil menjalin utasan tali persaudaraan yang kuat, penuh makna, dan sulit untuk dilupakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun