"Agar persatuan dan kepedulian tak makin pudar, teruslah menjunjung tinggi sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia." -Bung Hatta, 1946.
Sebuah Dunia Baru di Pondok Pesantren Al-Falah Pandeglang
Pondok Pesantren Al-Falah Pandeglang membuka pintu menuju dunia yang berbeda, sebuah tempat yang memadukan kebersamaan, dan nilai-nilai  kesederhanaan dalam sukacita. Jujur, saya pun pesimis nan cemas akan perbedaan yang akan saya hadapi. Tembok budaya, ras dan agama yang melintang membuat ku niscaya akan persaudaraan di pesantren yang akan ku jelajah. Namun, ketika pertama kali melangkahkan kaki di tanah Pondok Pesantren Al-Falah Pandeglang, suasana kehangatan segera menyapa. Sembari beliau mengajak berdiskusi tentang kepercayaan, agama, dan makna kehidupan, membuat setiap orang merasa diterima. Kehidupan di Al-Falah dimulai sejak dini hari, ketika para santri bersama-sama mengaji, suara ayat-ayat suci memenuhi udara, menciptakan suasana khusyuk dan damai.
Bertemu dengan para santri dan santriwati adalah momen khusyuk bagi saya. Meski fasilitasnya sederhana, kebersamaan terasa begitu nyata. Para santri berbagi makanan dalam tradisi liwetan, berbincang, bermain, dan bercanda di sela waktu mereka. Bahkan ketika malam tiba, tidur di atas lantai dingin menjadi pengalaman yang justru mengajarkan rasa syukur. Tidak ada gadget atau kebebasan tanpa arah, tetapi ada ikatan kuat yang menguatkan setiap langkah mereka. Pondok ini bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang untuk menanamkan disiplin, rasa syukur, dan kebersamaan yang akan terpatri selamanya.
Pada hari kedua, kami mengikuti apa yang dihidupi para santri dan santriwati di pesantren Al Falah. Bangun pukul empat pagi, mengikuti pengajian, makan bersama, belajar, hingga tidur di waktu yang sama setiap harinya. Setelah makan pagi, salah satu momen yang sangat menyentuh hati saya adalah ketika melihat mereka memakan sisa makanan yang tidak kami habiskan. Mereka melakukannya tanpa rasa rendah diri atau keluhan, seolah kesederhanaan menjadi sumber kebahagiaan yang tulus. Namun, saat kunjungan ke sekolah mereka, saya menyadari banyak tantangan yang dihadapi, terutama dalam pelajaran bahasa Inggris. Saya mendapati bahwa kesalahan grammar masih sering terjadi, menunjukkan adanya keterbatasan akses terhadap pengajaran bahasa yang berkualitas.
Di sore itu, suasana terasa begitu akrab saat kami pergi ke sawah untuk membuat dak isi air. Di bawah sinar matahari terik yang mulai memudar, kami bekerja sama dengan para santri memotong bambu, menyusunnya dengan teliti, dan memastikan konstruksinya kokoh. Selama proses itu, canda tawa mengalir tanpa henti, mencairkan rasa canggung yang mungkin sempat ada di awal pertemuan kami. Mereka dengan sabar mengajarkan teknik mengolah sumber daya alam---seperti cara memotong bambu agar rapi atau bagaimana menyusunnya supaya tidak bocor. Kami berbagi pengalaman, bercakap tentang kehidupan, dan mendalami nilai kerja keras dalam kesederhanaan. Persaudaraan terasa begitu erat, tidak hanya karena kerja sama fisik, tetapi juga karena nilai kebersamaan yang tumbuh di tengah sore yang damai itu.
Malam hari itu menjadi momen yang sangat berkesan, karena merupakan malam terakhir saya di pesantren. Saya dan teman-teman kobong duduk bersama, berbagi cerita yang melintasi berbagai topik. Kami mulai membahas tentang agama, lalu perlahan merambah ke adat istiadat, hingga ke hal-hal ringan tentang persahabatan seperti asal-usul, keluarga, hobi, dan impian. Sambil menyeruput segelas demi segelas kopi Kapal Api pahit, suasana menjadi semakin akrab. Rasanya, 42 jam yang telah berlalu terasa begitu singkat. Namun, dalam waktu yang singkat itu, kami berhasil menjalin utasan tali persaudaraan yang kuat, penuh makna, dan sulit untuk dilupakan.
Hari ketiga di pesantren adalah hari yang penuh emosi. Hati saya terasa berat saat tiba waktunya mengucapkan selamat tinggal kepada saudara-saudara baru yang telah menjadi bagian penting dalam perjalanan singkat ini. Sebelum kami pulang, mereka mendoakan kami dengan tulus, dan dalam doa itu, saya merasakan rahmat Tuhan yang melindungi dan menyertai langkah-langkah kami. Mereka melepas kami dengan penuh berkat, sama seperti saat mereka menerima kami dengan hangat di awal kedatangan.
Saya menyempatkan diri untuk mengucapkan selamat tinggal secara khusus kepada teman-teman kobong, mereka yang telah berbagi malam penuh cerita dan kebersamaan. Salah satu dari mereka mengatakan sesuatu yang tak pernah saya lupakan: "Jika kamu sukses nanti, gunakan kekuatanmu untuk mempererat ikatan antara agamamu dan agamaku." Kata-kata itu meninggalkan bekas mendalam di hati saya, menjadi pengingat akan tanggung jawab besar yang harus saya emban di masa depan.
Semangat Persatuan yang Memperkuat Semuanya
Pengalaman tiga hari di pesantren bukan hanya perjalanan fisik, melainkan juga perjalanan spiritual dan emosional yang begitu bermakna. Dalam waktu singkat itu, saya belajar bahwa persaudaraan tidak ditentukan oleh kesamaan agama, suku, atau latar belakang, melainkan oleh kesediaan untuk saling menerima, bekerja sama, dan menghargai satu sama lain. Melalui interaksi sederhana---dari memotong bambu bersama, berbagi cerita di malam terakhir, hingga doa penuh kasih saat perpisahan---saya menyadari bahwa kekuatan terbesar bangsa ini ada pada persatuannya.
Teman-teman santri menunjukkan kepada saya bahwa kesederhanaan tidak mengurangi nilai kehidupan. Bahkan, di tengah keterbatasan, mereka mampu berbagi kebahagiaan yang tulus. Pesan salah satu teman kobong, "Jika kamu sukses nanti, gunakan kekuatanmu untuk mempererat ikatan antara agamamu dan agamaku," adalah peringatan sekaligus tantangan untuk saya. Indonesia, dengan keberagaman agama, adat, dan budaya yang luar biasa, membutuhkan generasi muda yang tidak hanya berpendidikan tinggi, tetapi juga memiliki jiwa yang peduli untuk menjaga persatuan.