Hai, Linda.
Linda, aku bukan "buaya". Aku tidak akan merayumu kali ini. Daripada sekadar masalah cinta, aku lebih prihatin pada "nasib" kamu dan teman-temanmu.
Dalam sebuah gubuk bambu yang berdiri persis di tepi laut kamu mengeluh padaku, "Enak jadi laki-laki, bisa leluasa menolak dan meminta, sedangkan kalau perempuan, kalau tidak mau, akan dibuat "sakit".
Aku merasa mendapat banyak keuntungan terlahir menjadi seorang laki-laki, jauh lebih beruntung dari kamu yang lahir menjadi seorang perempuan. Terlahir menjadi seorang perempuan, kadang, memang tidak menyenangkan karena stigma miring juga lahir bersamaan dengan si bayi perempuan itu.
Linda, aku tidak begitu tahu apa saja yang dirasakan para perempuan sepertimu dan teman-temanmu, hidup memikul stigma yang tak kunjung hilang.
Akan tetapi, aku yakin stigma itu perlahan-lahan akan menghilang bila kamu dan teman-temanmu berani melawan stigma buruk itu. Hidup tidak sebatas cinta-cintaan, Linda. Ada cita-cita yang harus diwujudkan, ada harapan yang harus dituntaskan, lalu ada luka yang harus disembuhkan.
Menurutmu, mengapa para laki-laki Madura selalu merasa lebih superior dari para perempuan?
Setiap orang memiliki kegelihan masing-masing, aku ingin mengetahui kegelisaanmu. Aku tahu kamu gelisah, tapi aku tidak akan tahu apa saja sebab kegelisahanmu jika kamu tak mau bicara padaku.
Diam seorang perempuan kadang menjadi sebuah perlawanan, namun diam saja tak cukup. Ia perlu disuarakan meskipun sang raga tetap dirantai stigma.
Debur ombak dan semilir angin yang menemani kebersamaan kita pada sebuah pagi di tepi pantai itu tak pernah menceritakan kepadaku resah di dadamu, Linda.
Surat ini hanyalah surat pembuka, entah sampai berapa surat nanti jika kalian membalas suratku. Â Kutunggu surat-suratmu untukku.
Ttd
Tamimi
Bluto, 27/8 -- 1/9 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H