"Doi siapa?" tanya Rahman.
"Doimu itu loh, Nay, hahaha."
Sesungguhnya aku ingin bilang "doiku" hanya saja aku ragu dan yang keluar dari mulutku malah "doimu." Atas nama baik pertemanan, harus rela mengorbankan perasaan. Rahman terdengar tertawa. Ia tak menjawab banyak, hanya bilang siap. Ia boncengan dengan Gufron, motor Rahman lagi bermasalah roda depannya.
Ia pernah diisukan bersama Nay sejak kami masih sama-sama kuliah, entah benar atau tidak. Beberapa di antara kami, saat mahasiswa, hanya tertawa lepas bila bicara hubungan asmara, tidak ada yang betul-betul serius dalam menjalin hubungan, bahkan mungkin sampai saat ini. Itu hanya dalam pikiranku, entah bagaimana sesungguhnya.
Aku mengulangi apa yang Rahman bicarakan denganku kepada teman-teman di sampingku walaupun aku yakin mareka telah mendengarkan sebagian banyak percakapan kami.
Kutatap secara bergantian setiap mata di ruang itu. Tatapan mataku berakhir pada sepasang mata milik Lia yang cepat ia palingkan, begitu pula mataku. Aku ingin menyapanya lebih lanjut, mengajaknya bicara lagi barang sejenak tetapi aku tak punya hal-hal yang bisa kukatakan untuk sekadar basa-basi.
(Bersambung...)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H