Oleh: Moh. Tamimi
Aku tak pernah ingin hidup dalam megahnya kastil hanya untuk dipenjara dalam menaranya. Aku ingin hidup dalam rumah sederhana, keluarga sederhana, dan bersahabat dengan alam raya.
Kali ini aku telah menemukan rumah idaman itu, ini sungguh nyata. Ia berada di balik jajaran pohon kelapa, lambaian janur seolah memainkan biola saat aku makin mendekati rumah itu, Rumah Nay.Â
Jalan menuju rumah itu hanya berupa tanah merah, tak ada kelikir, tak ada semak-semak, tak ada apapun yang membuat perjalan menuju rumah itu terhambat. Ia terlihat seperti jalan karena terdapat bekas kendaraan yang lalu-lalang, rumput-rumput yang tumbuh, daun-daun yang gugur menjadi penanda sisi jalan.
Inilah rumah dongeng yang selalu terbayang di kepalaku, rumah sederhana yang dikelilingi pohon-pohon rindang, beragam kembang, sayur mayur, buah-buahan, tumbuh di sana. Ia kini bukan lagi sebatas khayalan.
Aku tidak tahu semua jenis pohon yang ada di sini, yang paling aku ingat adalah dua pohon mangga yang tidak memiliki banyak cabang—aku duga rantingnya memang sengaja dipotong supaya tidak sampai ke teras rumah, demi jaga-jaga adanya kemungkinan ranting itu rapuh, patah, dan jatuh begitu saja menimpa atap rumah itu.
Nay menyambutku sambil memegang ponsel pintarnya. Ia keluar dari balik pintu dengan wajah ceria sambil menarik bibirnya menjadi sebuah senyuman, senyuman gelombang pasang yang penuh debar bagiku.
Aku seolah melihat semesta raya ketika tanpa sengaja bertemu pandang dengan kedua matanya, kedua bola mata itu jernih. Â Aku yakin tidak sedang melihat sepasang purnama kembar, bulan kelima belas, memancarkan sinar, atau dua samudera, Atlantik dan Antartika, bentangan laut yang tidak akan pernah selesai bila kuarungi.
Aku tidak tahu harus menggambarkan matanya bagaimana. Aku takut terhanyut bila memanjakan mataku melihat matanya, bila mataku dengan segala kisahnya terhanyut dalam matanya, siapa yang akan bertanggung jawab! Mungkin tidak akan ada orang yang peduli dengan hal itu, tidak ada yang peduli padaku—orang-orang hanya akan menilaiku sebagai seorang gila yang tengah hanyut dalam halusinasi yang wajar dialami oleh seorang pemuda yang tengah sendiri menjalani hidup tanpa seorang kekasih. Saat itu, aku adalah salah satu dari sekian banyak orang yang tak perlu dihiraukan tingkah lakunya kecuali orang lain yang juga bisa melihat purnama kembar atau dua samudra yang sedang berdampingan di sepasang mata itu.
Kedua mata yang seolah ingin menelanku itu belum tentu bisa kumiliki nanti. Aku takut terhanyut, takut tidak bisa keluar dan mati dalam genangan samudra bercahaya purnama itu. Aku tidak ingin mati sia-sia hanya karena sebuah pandangan mendalam dari sepasang mata.
Sejenak aku menduga, mungkinkah Nay itu peri yang bersembunyi dalam rumah sederhana itu. Mungkinkah aku berada di sebuah negeri dongeng hari ini. Aku masih sadar, aku yakin aku masih hidup dalam dunia nyata, aku tidak sedang berilusi berkepanjangan. Aku ingin segera menemukan kepastian keadaan ini. Aku ingin menyapanya, mendengar suaranya dengan jelas, dengan jernih. Semoga telingaku bekerja dengan baik.