Mohon tunggu...
Moh Tamimi
Moh Tamimi Mohon Tunggu... Jurnalis - Satu cerita untuk semua

Mencari jejak, memahami makna.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rumah Nay

8 Juni 2021   00:23 Diperbarui: 8 Juni 2021   13:56 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mana Helmi?" tanyaku. Hatiku terus berharap ini bukanlah sebuah mimpi.

"Gak ada," jawab Nay sambil tertawa terbahak-bahak. Suaranya benar-benar jelas terdengar. 

Seketika itu, aku tak melihat lagi purnama kembar itu bersinar-sinar. Sepasang mata itu mengarah ke mana-mana, tidak lagi bertemu dengan sepasang mataku. Rumah itu masih seperti semula, pohon-pohon, rumput-rumput, di sekitarku masih sedia kala, tak ada yang memudar, daun-daun gugur pun masih tetap terlihat seperti semula aku sampai di tempat ini beberapa saat lalu. Kini, aku sudah yakin, ini nyata. Aku tak perlu lagi khawatir semua ini akan hilang seperti sebuah mimpi yang tak selesai karena bangun tiba-tiba di pagi hari.

Aku tahu ia hanya bercanda dan aku yakin Helmi ada di rumah itu. Aku melangkah pelan menuju ruang tamu rumah itu walau tidak dipersilahkan. Nay masih tertawa, sambil belirik ke arah kananya. Di balik pintu, aku melihat  Helmi dan Faika yang ikut tertawa sambil melihat aku. Aku sebenarnya tidak mengerti apa yang mereka tertawakan—dalam hati aku ingin mengutuk campur bahagia, mereka benar-benar ada di sana.

Nay hanya sebentar di ruang tamu saat ia menyambut kedatanganku, ia langsung masuk kamar, entah apa yang ia lakukan, aku duga ia sedang berdandan, merapikan bajunya, merapikan kerudungnya, karena sebentar lagi kami akan pergi ke acara pernikahan seorang teman.

Ada beberapa makanan ringan di tengah-tengah Helmi dan Faika, itu makan khas hari raya, peye', rengginang, dan biskuit Khong Guan—jangan mudah percaya pada toples bermerk, terkadang isi toples itu juga rengginang—dan beberapa buah segar, sebagian telah dipotong-potong. Aku yakin mereka baru saja makan rujak buah, masih ada sisa petis dalam cobek lengkap dengan ulekannya yang terletak di pinggir cobek, sebuah keranjang berisi potongan buah nanas, pir, dan apel masih terlihat segar, dan beberapa cabai merah terbungkus plastik putih di samping keranjang merah, terkumpul dengan sesachet garam dan vetsin—masakan Madura umumnya banyak menggunakan vetsin, garam dan vetsin seolah bumbu permanen yang tak pernah lepas dari racikan bumbu-bumbu alami.

Aku tanya mereka apakah mereka baru saja makan rujak buah, jawaban mereka tidak meleset dari dugaanku. Faika menawariku untuk membuatkanku sambal rujak petis. Ia bertanya, memandangku menunggu jawaban. Sebelum aku jawab, suara Nay terdengar dari dalam.

"Faik, tidak usah ditanyakan, langsung buatkan saja." 

Aku senang mendengar jawaban dari dalam kamar itu. Aku ingin menyembunyikan kebahagiaan yang lumrah ini, namun itu bukan keahlianku. Aku nyengir saja mendengar perkataan, Nay, tentu aku setuju, tentu aku ingin  makan rujak itu. Sudah lama aku ingin makan nanas, buah itu mudah didapat tetapi aku selalu tidak mempunyai kesempatan untuk membeli, tidak menyempatkan waktu, hanya sebatas ingin.
Faika menjawab perkataan Nay tetapi ia katakan padaku. Katanya, aku takut tidak mau, tidak dimakan, sehingga ia percuma membuat sambal itu.

Faika menarik cobek itu mendekat ke hadapannya, ia menambahkan petis, cabai, garam dan vetsin ke dalam cobek, langsung mencampurnya dengan sisa sambal itu. Tanganku terasa gatal melihat ia mengulek sambal. Aku ingin mengulek sendiri, aku sudah terbiasa melakukan itu di rumah. Selain itu, ada kepuasan tersendiri  ketika aku makan buatan sendiri.
Ulekan dari pangkal pohon bambu yang mirip seperti kuda duduk itu terlihat beda dari ulekan yang sering saya pakai di rumah, biasanya ulekannya miling ke kiri, namun ulekan itu miring ke kanan. Apa mungkin "kuda" itu tengah patah sebelah kakinya.

Kata Faika, model ulekan seperti itu sudah biasa, ulekan kayu itu memang miring ke kanan bukan ke kiri. Aku tidak mau berdebat mana yang benar antara yang kanan atau yang kiri. Hanya saja, saya merasa lebih nyaman ketika ulekan itu miring ke kiri, pergelangan tanganku terasa lebih mudah ketika harus menekan kuda duduk itu dengan keras supaya  rempah-rempah di bawahnya cepat halus. Aku tidak tahu, apakah ini hanya sekadar kebiasaan atau karena perbedaan perspektif tentang pergelangan tangan memperlakukan dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun