Aku ajak Helmi dan Faika makan rujak buah itu lagi, makan bersama, tetapi mereka memilih menolak dengan alasan masih kenyang—mungkin saja mereka sungkan untuk makan lagi atau takut mengurangi bagianku.
"Ayo dong temani aku!" Helmi tetap menolak. Ia tetap asik dengan ponselnya. Aku asik dengan potongan tipis buah di hadapanku. Aku ambil sepotong demi sepotong potongan buah itu, terkadang aku angkat tinggi-tinggi setelah kucelupkan dalam sambal petis itu, berharap selera mereka bangkit, liur mereka meleleh, dan bergabung bersamaku. Aku makan pelan, sambil melantunkan suara "emmm" yang dibuat-dibuat untuk mengesankan rujak buah itu benar-benar nikmat. Usahaku sia-sia. Mereka berdua tetap dengan kesibukannya masing-masing, menggeser-geser ponsel masing-masing.
Nay masih belum keluar kamar. Aku melihat ruang tamu itu, melihat celah demi celah sampai ke sudut-sudut rumah itu. Rancangan kayu penyangga lusinan genting tampak bisa kuhitung, namun tidak kulakukan, tidak ada langit-langit yang terbuat dari asbes. Sekujur tubuhku mulai terasa gerah. Aku semakin mendekat pada kipas angin di belakangku.
Sambal petis itu membuat bibirku tidak bisa tenang, pedas. Aku buka jaketku, bajuku, hanya tinggal mengenakan kaus tipis berwarna putih. Aku izin buka baju tanpa menghadap pada seorangku di sampingku. Aku tidak menunggu jawaban. Aku langsung membukanya.
Cabai merah yang membuatku bibirku panas bukan satu-satunya, aku yakin, faktor yang membuat badanku gerah. Tembok rumah ini tidak setinggi kastil milik keluarga kerajaan, tingginya sekitar dua kali tinggi badangku, aku kira antara 3,5 - 4 meter. Aku selalu bertanya-tanya, mengapa bila aku berada di rumah yang temboknya lebih rendah, cenderung lebih cepat membuat gerah daripada berada di rumah dengan tembok lebih tinggi.
Belum selesai aku berputar-putar dengan pikiranku sendiri, tiba-tiba Nay keluar dari dalam kamarnya. Kini, hatiku merasa semakin sejuk, kini aku serasa melihat bulan purnama di wajahnya, sepasang mata sendu. Inilah inti dari kesejukan rumah ini. Nay.
Ia tersenyum. Ia kembali lagi ke kamarnya sambil mengajak Faika masuk. Senyum di bibirnya masih tertinggal di mataku. Aku cepat kembali memalingkan wajahku pada potongan-potongan buah, banyangan itu tetap melekat di pikiranku.
"Nay, keluarlah sekali lagi!" Batinku.
#1
Bersambung....
*Catatan:Â
Cerita ini akan berlangsung dengan judul berbeda. Judul utama novel ini saya masih belum menentukannya, bila anda memiliki masukan dipersilahkan!