Bau kemenyan tercium ketika saya sampai di depan Gua Sangyang Poek. Sepertinya, Dewa Kegelapan penunggu tempat itu menyambut saya dan berkata, “Selamat datang! Silakan dihirup dan dinikmati.”
Ah, andai bukan kemenyan yang ditawarkan sang penunggu tak kasatmata itu. Jika saja dia menyuguhi saya dengan shisha rasa stroberi seperti di sebuah restoran Timur Tengah di bilangan Kemang Jakarta Selatan, tentu saya dengan senang hati menerimanya sambil melepas lelah setelah melahap jalur setapak yang terjal. Tapi, kalau kemenyan sih enggak deh. Terima kasih, Sangyang.
Gua Sangyang Poek atau Dewa Kegelapan terletak di belakang Power House Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Saguling. Sebagian orang menyebut wilayah tempat gua itu berada dengan julukan Citarum Purba.
Saya bersepeda ke dan berenang di bagian Sungai Citarum yang masih menyisakan sedikit kemurniannya itu. Saya berangkat dari rumah di Padalarang pada pukul tujuh tepat. Karena jarak rumah dan tujuan cukup dekat, hanya sekitar 24 kilometer, saya perkirakan pukul 12 siang saya sudah sampai lagi di rumah. Tapi, saya melupakan satu hal: jika bersepeda, saya terbiasa memilih jalur alternatif—sekadar untuk menghindari penggunaan kata “nyasar”. Karena kebiasaan ini, yang tadinya berencana sudah istirahat di rumah sebelum azan zuhur, saya malah baru sampai kembali hampir bertepatan dengan azan isya.
Dari Padalarang, saya mengayuh sepeda perlahan. Saya tidak ingin menguras tenaga di awal dengan ngebut di tanjakan panjang sampai Cipatat. Santai saja. Toh, tujuan perjalanan ini untuk bersenang-senang, bukan berpacu dengan waktu. Satu, dua, tiga truk sampah dan bus jurusan Bandung-Sukabumi via Cianjur mendahului saya. Tidak usahlah saya menyebut berapa banyak motor dan mobil pribadi yang menyusul saya. Sampailah saya di pertigaan Rajamandala-Saguling. Saya pun membelokkan sepeda ke kiri.
Sekitar 30 menit kemudian, setelah melalui jalan aspal yang bervariasi menanjak dan menurun, saya menghentikan sepeda di pos keamanan pertama. Saya memeriksa rem depan sepeda yang berdecit ketika roda berputar. Saya mengelap cakram rem dengan spons basah, lalu melihat peta kawasan PLTA Saguling di depan pos.
Mungkin karena bersepeda, saya tidak diperiksa oleh petugas seperti pengendara motor dan mobil. Saya pun segera melewati portal.
“Anda memasuki area obyek vital nasional (Obvitnas).” Sebuah plang putih bertuliskan huruf kapital hitam dan merah memberi tahu pengunjung bahwa wilayah yang dikunjungi bukan tempat sembarangan.
Di sebuah pertigaan, tempat PT Indonesia Power Saguling berkantor, saya sempat bingung menentukan arah. Sayangnya, tidak ada seorang pun yang bisa saya tanya. Saya lantas memutuskan untuk belok kanan ke jalan tanah kering, sedangkan jalan ke kiri beraspal mulus. Rupanya, saya memasuki permukiman penduduk. Di sebelah kiri saya, Citarum mengalir deras dan menyebarkan bau yang seperti belerang, tapi konon itu bau bermacam limbah yang mencemari sungai.
Di tengah kayuhan menyusuri jalan tanah kering dan berdebu, saya tergoda untuk menyeberangi Citarum dengan jembatan gantung yang berkarat dan berlubang di beberapa bagian. Jembatan yang lebarnya hanya cukup untuk satu motor itu bergoyang-goyang ketika saya dan beberapa orang lewat di atasnya. Jika tadi saya berada di Kabupaten Bandung Barat, sekarang saya berada di seberang yang masuk ke wilayah Kabupaten Cianjur.
Setelah menyeberang, saya sempat berputar-putar tak tentu arah. Pokoknya, selama arus deras masih terdengar dan bau limbah masih tercium, saya masih berada di sekitar Citarum. Boleh tersesat, asalkan jangan terlalu jauh, pikir saya. Tapi, karena takut dianggap yang tidak-tidak oleh penduduk setempat, akhirnya saya menyeberang kembali dan mencari jalan yang benar ke Citarum Purba.
Jika tersesat, saya selalu mengandalkan dua alat navigasi: suara hati dan GPS (Gangguin Penduduk Setempat). Makanya, ketika melihat seorang perempuan menjemur padi di depan kantor Indonesia Power, saya langsung menghampirinya dan menanyakan arah ke Sangyang Poek. Berbekal petunjuk dari perempuan itu, saya mengayuh sepeda di jalan aspal menanjak dan tidak lama kemudian, saya sampai di depan Power House.
Setelah meminta izin dan bertanya kepada petugas keamanan di sana, saya segera beranjak ke gerbang tak resmi menuju Citarum Purba. Di depan saya menjulang sepasang pipa pesat raksasa berwarna kuning hampir oranye. Lalu, saya menuruni jalan setapak berbatu yang dijejeri semak kering.
Jalan ini seperti lorong waktu. Sebelumnya, saya berada di bangunan instalasi canggih buah kepintaran manusia. Kini, saya memandang haru mahakarya Sang Maha Pencipta. Batu-batu besar, serangga-serangga air, ikan-ikan berenang bebas, serta air bersih, jernih, dan bening. Sulit dipercaya jika mengingat ini adalah bagian Citarum yang dianggap sebagai sungai paling tercemar di dunia. Ini ajaib. Kemurnian alam yang berjarak hanya beberapa langkah dari aliran sungai yang busuk.
Saya segera menceburkan diri bersama sepeda. Sementara bermain air, saya mengingat-ingat bagaimana Citarum Purba ini terpisah dari arus utamanya. Usut punya usut, ini adalah sungai mati yang tercipta karena aliran Citarum dialihkan oleh Bendungan Saguling yang menyalurkan air berlimbah ke pipa pesat.
Sebagai sungai mati, Citarum Purba semestinya kering. Namun, karena mendapat pasokan air dari anak sungai yang bermuara padanya, sepenggal aliran yang terputus dari hulunya ini tetap berair dan menjelma lembah bersih tersembunyi.
Panas matahari semakin terasa menyengat di kulit karena waktu itu musim kemarau. Saya bisa lupa waktu jika sedang main air—apalagi di tempat seperti Citarum Purba ini. Tapi, saya harus melanjutkan perjalanan ke Gua Sangyang Poek sebagai garis finish kali ini. Disertai harapan secuil keajaiban yang indah ini tetap terjaga sampai lama, saya berkata kepada diri sendiri, saya dan sepeda baru saja menemukan tempat renang favorit: Citarum Purba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H