Mohon tunggu...
Mohammad Sidik Nugraha
Mohammad Sidik Nugraha Mohon Tunggu... Editor - Textpreneur

Penyunting dan penerjemah buku berpengalaman 15 tahun lebih. Berbagi tulisan bermanfaat di media cetak dan daring.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Suatu Siang di Citarum Purba

15 November 2016   10:51 Diperbarui: 15 November 2016   10:57 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Pribadi/Moh. Sidik Nugraha

Jika tersesat, saya selalu mengandalkan dua alat navigasi: suara hati dan GPS (Gangguin Penduduk Setempat). Makanya, ketika melihat seorang perempuan menjemur padi di depan kantor Indonesia Power, saya langsung menghampirinya dan menanyakan arah ke Sangyang Poek. Berbekal petunjuk dari perempuan itu, saya mengayuh sepeda di jalan aspal menanjak dan tidak lama kemudian, saya sampai di depan Power House.

Setelah meminta izin dan bertanya kepada petugas keamanan di sana, saya segera beranjak ke gerbang tak resmi menuju Citarum Purba. Di depan saya menjulang sepasang pipa pesat raksasa berwarna kuning hampir oranye. Lalu, saya menuruni jalan setapak berbatu yang dijejeri semak kering.

Jalan ini seperti lorong waktu. Sebelumnya, saya berada di bangunan instalasi canggih buah kepintaran manusia. Kini, saya memandang haru mahakarya Sang Maha Pencipta. Batu-batu besar, serangga-serangga air, ikan-ikan berenang bebas, serta air bersih, jernih, dan bening. Sulit dipercaya jika mengingat ini adalah bagian Citarum yang dianggap sebagai sungai paling tercemar di dunia. Ini ajaib. Kemurnian alam yang berjarak hanya beberapa langkah dari aliran sungai yang busuk.  

Saya segera menceburkan diri bersama sepeda. Sementara bermain air, saya mengingat-ingat bagaimana Citarum Purba ini terpisah dari arus utamanya. Usut punya usut, ini adalah sungai mati yang tercipta karena aliran Citarum dialihkan oleh Bendungan Saguling yang menyalurkan air berlimbah ke pipa pesat.

Sebagai sungai mati, Citarum Purba semestinya kering. Namun, karena mendapat pasokan air dari anak sungai yang bermuara padanya, sepenggal aliran yang terputus dari hulunya ini tetap berair dan menjelma lembah bersih tersembunyi.

Panas matahari semakin terasa menyengat di kulit karena waktu itu musim kemarau. Saya bisa lupa waktu jika sedang main air—apalagi di tempat seperti Citarum Purba ini. Tapi, saya harus melanjutkan perjalanan ke Gua Sangyang Poek sebagai garis finish kali ini. Disertai harapan secuil keajaiban yang indah ini tetap terjaga sampai lama, saya berkata kepada diri sendiri, saya dan sepeda baru saja menemukan tempat renang favorit: Citarum Purba.

Dok. Pribadi/Moh. Sidik Nugraha
Dok. Pribadi/Moh. Sidik Nugraha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun