Pantai itu tak sempat berlarut-larut dalam kenestapaan;
Ia bangkit “memuja” orang-orang yang rindu kemolekannya;
Bermimpi-mimpi tentang kegenitan alamnya;
Tentang deru ombak putih yang sungguh menakjubkan;
Tentang pasir bening yang termasyhur;
Tiada ampun!
Itulah Lampuuk, seonggok pantai yang lihai menyihir pengunjungnya!
---
Struktur pantai itu berbentuk cekungan, menjorok ke Utara dan dibentengi gugusan pegunungan nan indah, salah satunya Gunung Goh Leumo yang sering didaki anak-anak muda Aceh. Lampuuk bagai tak berubah meski tsunami menggerus sekujur pantai itu pada 26 Desember 2004. Batang pinus yang tumbuh berjajar di sepanjang pantai, melambai-lambai mengikuti ayunan angin, nyaris memupus segala kenangan buruk 12 tahun lampau.
Lama tak terdengar cerita tsunami di sini! Orang-orang telah mengubur cerita lara itu. Mereka sibuk mencari “sesuap” nasi, bermain, bercengkerama bersama teman, keluarga, dan kerabat. Mereka bermandi riang, berenang, berjemur, bermain papan selancar, jet sky, dan banana boat. “Lina rindu pasir pantai Lampuuk, Pak. Lina copy paste, ya, DP (display picture) BBM (blackberry messenger) Bapak,” kata Erlina Sari, warga Aceh yang kini di Bangka Belitung (Babel), ketika melihat recent updates BBM penulis. Klik, dalam sekejap DP Erlina Sari berubah, dua foto didesain menjadi satu yaitu tentang keramaian Lampuuk dan keindahan pantai di Babel. Statusnya pun ditukar begini: Merindu Lampuuk, Kupeluk Tanjung Tinggi Belitung.
Erlina Sari memang tak bisa dipisahkan dari Lampuuk. Ibu empat anak ini memiliki romantisisme panjang dengan Lampuuk. Semasa kecil, cerita Lina, Lampuuk adalah tempatnya bermain di hari-hari libur, di hari-hari ketika ia penat bersekolah. Bersama keluarganya, Erlina kerap menyambangi pantai-pantai di Aceh seperti Lhoknga, Ulhee Lheue, Ujong Batee, dan Krueng Raya.
Tapi, kepada lampuuk, Lina begitu terpesona hingga kini. Hatinya menggelupur melihat hamparan laut yang membiru, butiran ombak yang tak pernah lelah berkejaran, karang-karang putih dan pasir-pasir lembut yang sering dijadikan kanvas tulisan I love you oleh kasmarannya anak-anak muda. Meski kelihatan sedikit lebay, ekspresi anak-anak muda itu adalah guntingan cerita tak terpisahkan dari Lampuuk.
“Tapi, di zaman motor yang menjamur seperti sepeda, bisa dipastikan hampir tak ada orang menumpang labi-labi ke Lampuuk, kecuali dicarter,” kata pengelola warung di Lampuuk. Dulu, dulu sekali, sebelum berlaku Syariat Islam, pantai ini tempat bersantai turis mancanegara. Bule-bule dari segala penjuru itu sering berjemur, bermain papan selancar, mandi, dan menikmati sun set. Mereka hanya mengenakan bikini. Orang-orang Lampuuk lumrah dan tak menganggap tabu pemandangan itu.
Berbeda dengan kini, tentunya. Cerita Lampuuk dan pantai-pantai lain di Aceh tak bisa dilepaskan dari Syariat Islam. Setiap pengunjung yang muslim harus menutup auratnya. Sedangkan bagi yang non muslim diharuskan berpakaian sopan dan santun. Selain itu, menjelang senja, warga tak dibolehkan lagi bermain di pantai. Jika ada yang coba melanggar, apalagi membawa pasangan yang bukan muhrimnya, maka bersiaplah untuk menerima hukuman cambuk.
Cerita lain Lampuuk, tentu, cerita tentang keindahan pantai dan pasir putihnya yang menjadi magnet, ditambah aneka kuliner ikan bakar yang tak kalah gurihnya. Cuma, itulah kebiasaan “orang kita” yang suka mematok harga sesukanya jika pengunjung berjubel di kala hari-hari libur.
Wow, harga yang fantastis, bukan? Tapi apa mau dibilang! Jika kita tidak membeli ikan bakar maka kita tak boleh duduk di balai-balai beratap rumbia yang mereka sediakan. “Jika mau duduk sini, Bapak harus pesan ikan bakar, ya,” kata pramusaji di sana. Tapi, sambungnya, “kalau yang ini, cukup pesan minuman saja,” katanya sambil menunjuk balai-balai yang di bagian belakang.
Tatkala Lampuuk digeruduk pengunjung, memang kita berada pada posisi serba salah! Jika jika tidak mau pesan ikan bakar maka konsekuensinya harus duduk di balai-balai yang agak ke belakang;view-nya jauh dari bibir pantai. Pandangan kita terhalang gubuk-gubuk tradisonal yang berjajar rapat di depannya.
Itulah kisah Lampuuk kini. Tak terasa, Lampuuk telah bernyawa lagi. Denyutnya yang pernah terhenti dilibas tsunami, sekarang berdegup kencang. Bule-bule perempuannya pun fasih berpenampilan santun, malah terkadang berkerudung.
Tak dinyana sihir Lampuuk mampu membangkitkan batang-batang kehidupan yang sempat karam; terendam bersama lumpur-lumpur hitam tsunami. Jika Anda penasaran, datanglah sekarang ke Lampuuk! Pasti Anda akan berbirahi meniduri Lampuuk yang semakin seksi meski tanpa bikini!***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H