Mohon tunggu...
Mohsa El Ramadan
Mohsa El Ramadan Mohon Tunggu... Jurnalis - Seorang jurnalis, tinggal di Banda Aceh.

Menulis adalah spirit, maka perlu sebuah "rumah" untuk menampungnya | E-mail: mohsaelramadan@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Konflik Lingkungan di Aceh: Rawa Tripa Diduga Bermuatan Politik Asing (4-Selesai)

9 Mei 2014   04:04 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:42 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_335376" align="aligncenter" width="512" caption="Salah satu pintu masuk ke kawasan Rawa Tripa, Darul Makmur | foto: mohsa el ramadan"][/caption]

Upaya pemerintah menetapkan wilayah Rawa Tripa sebagai lahan konservasi di Kabupaten Nagan Raya pesisir barat Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), tidak hanya beralasan pelestarian semata, namun juga diduga bermuatan politik pihak asing.

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) Suwardi menjelaskan Rawa Tripa telah ditetapkan statusnya melalui peraturan SK-Menhut No. 190/kpts-II/2001 tentang penetapan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sebagai Areal Penggunaan Lain (APL), sehingga pihak yang ingin mengubahnya menjadi daerah konservasi diduga mempunyai motif lain.

"Saya duga ada motif lain di balik aksi tersebut. Apalagi ingin mengembalikan perkebunan kelapa sawit menjadi hutan. Aksi tersebut disponsori oleh pihak asing yang memiliki kepentingan ekonomi dengan membiayai LSM agar produksi sawit di Indonesia tidak meningkat, agar industri minyak goreng mereka tidak tersaingi produk dari kelapa sawit," ujar dia di Jakarta, Senin (10/1), www.beritasatu.com.

Menurut dia, industri minyak goreng asing yang dikembangkan dari bahan baku tanaman nabati lainnya tidak dapat bersaing dengan industri minyak goreng berbahan baku sawit yang sangat efisien. Pasalnya, kebun sawit dapat menghasilkan 5 ton minyak per hektare (ha) per tahun. Sedangkan kedelai, bunga matahari atau tanaman lain hanya menghasilkan maksimal 1 ton minyak per ha. "Mereka sangat khawatir dengan perkembangan laju produksi minyak sawit Indonesia. Berbagai cara mereka lakukan, seperti dengan membiayai LSM di Rawa Tripa untuk mengubah kawasan APL menjadi kawasan konservasi. Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia tentu saja harus menolak cara-cara asing untuk menghambat perkembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia," papar Suwardi.

Sebaliknya, di saat Indonesia mengalami defisit traksaksi berjalan, pemerintah harus mendorong berbagai produk unggulan sebagai produk ekspor, seperti minyak dari perkebunan kelapa sawit. Produk minyak sawit juga dapat digunakan sebagai bahan baku untuk produk biodisel, sehingga dapat mensubstitusi impor bahan bakar minyak. Untuk menggenjot produksi minyak sawit, salah satunya melalui pemanfaatan lahan gambut sesuai tata ruang yang telah ditetapkan tersebut.

Stigma lahan gambut tidak produktif sebagai lahan pertanian atau perkebunan dapat diubah melalui modal dan teknologi. Modal diperlukan untuk menata kawasan, seperti saluran drainase, irigasi, jaringan jalan, dan modal operasional. Teknologi yang diperlukan seperti teknologi pembibitan, pemupukan, pompa, pemanenan, pasca panen, dan lain-lain perlu terus- menerus dikembangkan. "Diperlukan modal besar sehingga pengelolaan lahan gambut yang tidak produktif sebaiknya diserahkan kepada perusahaan besar yang memiliki modal dan teknologi," tutur dia.

Dengan kondisi tersebut, kata dia, petani kecil sangat sulit jika diserahi tanggungjawab pengelolaan lahan gambut yang tidak produktif. Selain itu, pemilihan jenis tanaman juga sangat penting. Saat ini, kelapa sawit, karet, dan acacia crassicarpa merupakan komoditas yang dapat dikembangkan pada lahan gambut tidak produktif. "Acacia crassicarpa merupakan bahan untuk industri pulp. Contoh konkret pengelolaan lahan gambut tidak produktif yang berhasil adalah di Sumatera Selatan untuk tanaman Acacia crassicarpa," ungkap dia.

Sesuai beberapa peraturan di atas, terutama dalam lampiran SK Menteri Kehutanan 941/Menhut-II/2013, Rawa Tripa merupakan area APL, sehingga wilayah tersebut memang sudah dialokasikan untuk areal budidaya.

Dengan dasar keputusan menteri itu, pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengeluarkan HGU kepada beberapa perusahaan perkebunan. Jika kawasan yang dialokasikan untuk APL di Rawa Tripa harus dilestarikan atau dihutankan lagi, tentu tidak masuk akal, terutama pada kawasan yang telah dijadikan lahan perkebunan yang telah mengantongi izin usaha. "Di dalam kawasan Rawa Tripa telah banyak permukiman warga yang menikmati hasil usaha perkebunan, baik sebagai pemilik kebun, bekerja di perusahaan perkebunan, maupun usaha-usaha lain yang berkaitan dengan operasional perkebunan," papar Suwardi.

Sumber: http://www.beritasatu.com/nasional/165546-konservasi-rawa-tripa-diduga-bermuatan-politik-pihak-asing.html

Inilah potret Sena’am dan Rawa Tripa dari kacamata orang-orang yang menjadi bagian sejarah permukiman itu dan para pakar. Tentu mereka tak rela jika nama tanah kelahirannya serta merta diobok-obok dan diganti oleh orang luar yang tak paham akan sejarah itu sendiri. Apalagi dilakukan demi materi dan kepentingan politik kelompok asing bersama antek-anteknya. Ini sangat meresahkan dan bisa menimbulkan konflik baru. Sekali lagi, warga di permukiman Sena’am mengingatkan pihak-pihak luar “perusak” sejarah bahwa: Ini Sena’am, Bung, bukan Rawa Tripa yang penuh intrik dan rekayasa itu! (SELESAI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun