buku "Sebelum Filsafat" karya Dr. Fahruddin Faiz ini bener-bener ngasih kita cara baru buat ngeliat filsafat. Dan yang paling asyik, dia nggak bikin kita merasa minder meskipun nggak ngerti istilah filsafat yang ribet-ribet itu.
Kalian pernah nggak sih ngerasa kalau mikir itu melelahkan? Kayak, "Kenapa sih kita harus ribet soal hidup?" Atau malah kebalikannya: kalian malah suka banget ngulik makna hidup yang kayak labirin nggak ada ujungnya? Nah,Dari awal buka buku ini, vibes-nya langsung santai tapi serius. Dr. Fahruddin Faiz, dosen sekaligus podcaster yang sering ngobrolin tema-tema filsafat di kanal YouTube, berhasil membangun jembatan antara konsep-konsep filsafat yang njelimet dengan pengalaman sehari-hari kita. Kalau kalian merasa filsafat itu sesuatu yang "too much," buku ini bakal ngebantu kamu buat ngubah mindset itu. Jadi, mari kita bedah bareng-bareng kenapa buku ini layak banget buat jadi teman baca kalian.
Pendekatan yang Ringan, Tapi Nggak Dangkal
Salah satu hal yang bikin buku ini beda adalah cara Dr. Faiz menjelaskan filsafat dengan gaya ngobrol. Dia nggak memosisikan dirinya sebagai "guru" yang lagi ceramah, tapi lebih kayak teman yang lagi curhat tentang sesuatu yang dia passionate banget. Misalnya, di bagian awal buku, dia bilang, "Filsafat itu nggak melulu soal teori berat. Sebelum masuk ke yang ribet-ribet, kita harus ngerti dulu landasan-landasannya." Dan itu bener banget.
Buku ini ngajak kita buat balik ke dasar: kenapa kita mikir? Kenapa kita mempertanyakan sesuatu? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan mendasar yang seringkali kita skip karena sibuk sama rutinitas. Dr. Faiz ngajak kita buat stop sejenak dan nikmatin proses berpikir itu sendiri. Menurut dia, "Berpikir adalah langkah pertama untuk memahami kehidupan." Dan jujur, kutipan ini bikin gua mikir ulang soal banyak hal yang selama ini gua anggap remeh.
Konten yang Dekat dengan Kehidupan Anak Muda
Hal lain yang gua suka dari buku ini adalah bagaimana Dr. Faiz menyambungkan filsafat dengan realitas kita sekarang. Contohnya, dia nggak ragu buat ngomongin isu-isu kayak self-love, quarter-life crisis, sampai masalah pencarian makna hidup. Dalam salah satu bagian, dia bahkan menyinggung tentang bagaimana media sosial sering bikin kita terjebak dalam ilusi kebahagiaan.
"Ketika kita terus membandingkan diri dengan orang lain, kita sebenarnya sedang menjauhkan diri dari makna asli kebahagiaan," tulis Dr. Faiz. Gua ngerasa ini relate banget. Kadang kita sibuk banget scrolling Instagram atau TikTok, dan lupa buat refleksiin apa yang sebenarnya kita butuhin. Buku ini ngajarin kita buat lebih sadar akan diri sendiri sebelum sibuk mikirin validasi dari orang lain.
Filsafat yang Membumi
Dr. Faiz punya keahlian unik buat "membumikan" konsep filsafat yang biasanya abstrak. Contoh simpel, dia sering banget pake analogi atau cerita sehari-hari buat ngejelasin sesuatu. Salah satu favorit gua adalah saat dia ngomongin soal "kebenaran." Dia bilang, "Kebenaran itu kayak air. Dia bisa berubah bentuk tergantung wadahnya, tapi esensinya tetap sama." Analoginya sederhana, tapi dalem banget, kan?
Buku ini juga nggak bikin kita merasa harus "pintar" buat menikmati filsafat. Dr. Faiz justru ngajak kita buat jujur sama diri sendiri: kalau nggak paham, ya nggak apa-apa. Justru itu awal dari proses belajar. Buat gua, ini semacam wake-up call. Kadang kita terlalu takut buat kelihatan bodoh, padahal kebodohan itu justru langkah pertama buat jadi lebih bijak.