Kami pun pulang ke hotel tempat kami menginap dengan menaiki bajaj berwarna biru, warna kesukaan ibuku.
Selama di perjalanan, ayahku menceritakan kepadaku kisah-kisah awal dirinya ke Jakarta, mengadu nasib, yang waktu itu dia tak tahu akan berhasil atau tidak. Tuntutan keluarga yang membuatnya berani seorang diri di umur 17 tahun datang ke ibu kota.
Dijelaskan kepadaku, tempat-tempat biasa ayahku mengerjakan pesanan mebel. Dijelaskan pula kepadaku, orang-orang yang pernah membantunya di saat-saat sulit menghampiri.
Begitu sedih kudengarkan cerita-cerita itu dari mulut ayahku, kubasuh air mata yang mulai menetes pelan dari kedua mataku, kurasakan begitu sulitnya ayahku mengais rupiah untukku. Sungguh, aku ingin menangis sekeras-kerasnya, tak peduli jika semua orang mendengarnya.
Ayahku, terima kasih atas ceritamu yang berhasil membuatku menangis, merasakan kesedihanmu di kala aku dan kakakku di rumah tak tahu apa yang sedang terjadi padamu.
Kami sampai di hotel setelah 20 menit perjalanan.
Aku dan kakakku langsung turun dari bajaj dan menuju kamar. Sementara ayahku masih di luar membayar ongkos pada sopir bajaj yang berambut pirang seperti bule.
Sesampainya di kamar, bajuku basah, panas matahari pada siang itu membuat badanku basah akan keringat yang bercucuran. Aku langsung mandi, menikmati segarnya air shower hotel yang mengalir dari ujung kepala hingga kaki.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI