Para penonton duduk rapi di anak tangga, ada juga yang berdiri dengan tangan bersedekap, sedangkan penyanyinya berada di bawah. Lampu yang berkelap-kelip menambah suasana malam itu menjadi lebih romantis.
Kami pun bergabung dengan penonton lain menyaksikan acara musik itu dengan duduk di anak tangga yang jumlahnya ratusan banyaknya.
Setelah selesai membawakan lagu terakhir, para penonton turun dari tempat duduknya dan memasukkan sejumlah uang ke kotak kardus tepat di depan penyanyi itu berdiri.
Setelah dua jam kami keluar dari hotel menikmati suasana malam hari. Kami putuskan untuk kembali ke hotel.
Suara bising mesin pendingin ruangan yang seperti mau rusak menemani tidur malamku yang dipenuhi dengan mimpi-mimpi indah, yang membuatku tak mau menceritakan kepada siapa pun. Karena hanya diriku seorang yang boleh tahu.
Sudah dua hari kami menginap di hotel, itu berarti tinggal satu hari lagi waktuku bersama kakakku sebelum pergi ke Jepang.
Tidak mau kusia-siakan waktuku yang tinggal sedikit itu, aku mengajak ayahku dan kakakku untuk pergi ke Masjid Istiqlal pagi itu. Masjid yang berdiri megah di pusat kota berhasil menarikku.
Kulihat bagian dalam, 12 pilar besar yang menandakan tanggal kelahiran Rosul menjulang ke langit menopang kubah raksasa masjid itu.
Kupijakkan kakiku pada lantainya, dan kurasakan begitu dingin lantai masjid yang beralaskan marmer itu. Pasti ada mesin pendinginnya di bawah sini, ucapku dalam hati.
Bangunan yang sangat megah, suasana yang begitu sejuk, ditambah cahaya matahari yang masuk dari sela-sela pintu dan jendela masjid, membuat masjid itu menjadi sangat indah.
Kami menghabiskan waktu selama satu jam di sana. Sebelum pulang ke hotel, ayahku membelikan aku dan kakakku dua bungkus ketoprak untuk makan siang kami. Ayahku tahu, rasa lapar itu telah membuat cacing-cacing di perut protes keras kepadaku.