Sumpah Pemuda merupakan ikrar kebangsaan yang dirumuskan melalui sebuah putusan Kongres Pemuda Kedua di Jakarta pada 27-28 Oktober 1928. Ikrar ini adalah pernyataan kebangsaan pemuda-pemuda Indonesia dari berbagai latar belakang daerah, suku, ras, dan agama, mereka menyatukan keyakinan bahwa tumpah darah, bangsa, dan bahasa persatuan: ialah Indonesia. Keyakinan itu lalu disebarluaskan untuk dijadikan asas bagi semua perkumpulan kebangsaan Indonesia setelah peristiwa Kongres Pemuda Kedua.
Kongres Pemuda Kedua digagas oleh Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggotakan pelajar dari seluruh Indonesia. Kongres ini bertujuan untuk memperkuat rasa persatuan dan kebangsaan Indonesia yang telah tumbuh di dalam benak dan sanubari pemuda-pemudi.
Ikrar Sumpah Pemuda, yang dulu menggema dengan semangat kebersamaan, kini tak lagi terdengar lantang di kalangan generasi muda. Perkembangan zaman dan derasnya arus globalisasi sering kali membuat mereka lebih terhubung dengan budaya luar daripada akar kebangsaan sendiri. Semangat gotong royong, cinta tanah air, dan persatuan yang dulu menjadi jiwa dari ikrar Sumpah Pemuda, kini mulai tergerus oleh individualisme dan sikap pragmatis yang sering kali mengabaikan nilai kebersamaan.
Presiden RI pertama, Soekarno, pernah berkata, "Berikan aku sepuluh pemuda niscaya akan kugoncangkan dunia". Pernyataan tersebut menjadi sebuah pecut bahwa pemuda menjadi kunci utama dalam perjuangan ke arah perbaikan negara Indonesia yang sejatera. Hal ini didasari atas karakteristik pemuda seperti pada UU RI No. 40 tahun 2009 tentang kepemudaan pasal 6 yaitu, "memiliki semangat kejuangan, kesukarelaan, tanggung jawab, dan ksatria, serta memiliki sifat kritis, idealis, inovatif, progresif, dinamis, reformis, dan futuristik".
Pemuda dengan karakteristik seperti demikian menjadikannya memiliki peran penting dalam dinamika sosial Indonesia di tengah arus perubahan sosial yang terus mendera Indonesia. Hal ini mendorong perlunya ada suatu agenda pemberdayaan pemuda sehingga pemuda dengan karakteristik demikian mampu menjalankan perannya sebagai kekuatan moral, kekuatan sosial, dan agen perubahan. Desakan globalisasi menjadi salah satu agenda dari hampir seluruh negara di dunia karena globalisasi memberi dampak yang sangat signifikan terhadap kehidupan negara dengan segala aspeknya baik ekonomi, sosial, politik, hukum, dan lain sebagainya. Dampak positif dan negatif menjadi bonus yang tidak bisa dilepaskan dari globalisasi ini.
Indonesia sebagai negara berkembang sangat terpengaruhi oleh arus globalisasi ini. Sebagai negara berkembang, globalisasi menjadi pendorong untuk meningkatkan taraf hidup kenegaraan. Namun, begitu pula dampak negatif globalisasi ini menjadi ujian untuk terus dihadapi dan dicarikan solusinya. Dampak globalisasi ini pula dirasakan sangat berpengaruh besar terhadap generasi muda Indonesia baik itu jika dipandang dari sisi positif maupun negatifnya. Jika dilihat dari sisi positifnya, globalisasi menjadi faktor pendorong untuk menjadikan generasi muda sebagai tonggak pemeran utama dalam menciptakan kemajuan Indonesia. Pesatnya teknologi informasi menjadi sarana bagi generasi muda untuk mampu mengembangkan diri dalam upaya menciptakan generasi muda sebagai pemeran utamanya. Begitu pula kerasnya persaingan dalam era globalisasi ini mendorong pemuda untuk memiliki kompetensi yang mampu membawa generasi muda menjadi kompetitor.
Namun, tidak bisa dilepaskan pula dampak negatif dari globalisasi ini terhadap generasi muda. Menyimpangnya perilaku generasi muda yang cenderung dan bahkan jelas bertentangan dengan budaya dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Perilaku seks bebas, narkoba, dan sikap acuh pemuda yang hanya mementingkan nafsu belaka menjadi ancaman tersendiri bagi kelangsungan generasi muda yang disiapkan menjadi penerus perjuangan bangsa Indonesia. Permasalahan selanjutnya terletak pada lunturnya sifat atau karekter kepemimpinan pada generasi muda. Generasi muda sebagai aset untuk persiapan kesejahteraan masa depan dituntut untuk menjadi pemimpin yang mampu menjalankan kehidupan kebangsaan Indonesia yang berdasar pada Pancasila. Namun dalam perjalanan Indonesia saat ini, karakter kepemimpinan menjadi permasalahan yang masih perlu untuk dipecahkan. Nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang tercermin dalam Pancasila menjadi suatu hiasan yang dibingkai dalam kesedihan para pendiri bangsa. Hal tersebut dikarenakan generasi muda telah melupakan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dan lebih mengagungkan nilai-nilai budaya asing yang berseberangan dengan budaya Indonesia. Nampak jelas fenomena-fenomena perilaku yang menyimpang dari generasi muda yang mencerminkan luntur dan terkikisnya nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang tercermin dalam Pancasila.
Di tengah hiruk-pikuk kemajuan teknologi, ikrar ini seolah tertinggal, terkubur di antara layar-layar gawai dan budaya populer yang mendominasi. Padahal, nilai-nilai yang terkandung di dalam Sumpah Pemuda bukan sekadar sejarah yang mati, melainkan fondasi kebangsaan yang hidup. Nilai patriotisme, cinta damai, dan rasa tanggung jawab yang diwariskan para pendahulu melalui Sumpah Pemuda seyogianya masih menjadi pedoman bagi generasi muda saat ini dalam menghadapi tantangan bangsa.
Pengamalan nilai-nilai Sumpah Pemuda dalam kehidupan sehari-hari mencakup berbagai sikap dan perilaku yang menjadi dasar kebersamaan dan keutuhan bangsa. Nilai-nilai ini meliputi kegotongroyongan, di mana semangat bahu-membahu seharusnya ada dalam kehidupan masyarakat; patriotisme, yang melahirkan rasa cinta dan kebanggaan terhadap tanah air; serta musyawarah, sebagai cara penyelesaian masalah secara bersama. Selain itu, nilai cinta tanah air mengingatkan pentingnya menjaga dan menghargai tanah kelahiran, sementara kekeluargaan dan persatuan menjadikan perbedaan sebagai kekuatan untuk membangun kerukunan. Cinta damai dan tanggung jawab pun menjadi nilai penting, karena tanpa kedamaian dan kesadaran akan kewajiban, sulit bagi bangsa untuk mencapai keharmonisan.
Namun, kondisi pemuda-pemudi zaman sekarang menunjukkan adanya pergeseran dalam pemahaman dan pengamalan nilai-nilai tersebut. Globalisasi dan perkembangan teknologi yang pesat sering kali membuat generasi muda lebih tertarik pada budaya luar dan gaya hidup modern daripada mendalami dan menghidupi nilai-nilai kebangsaan. Kegotongroyongan, misalnya, semakin tergerus oleh gaya hidup individualistis yang mendorong banyak orang untuk lebih memikirkan kepentingan pribadi dari pada kepentingan bersama. Nilai patriotisme pun mulai memudar, seiring dengan makin berkurangnya minat generasi muda untuk mengenal sejarah dan tokoh-tokoh bangsa.
Selain itu, musyawarah sebagai bagian dari budaya kita sering kali tersisih oleh budaya debat dan kritik di media sosial yang cenderung polaristik, tanpa penyelesaian masalah yang konstruktif. Rasa cinta tanah air mungkin masih ada, tetapi kebanyakan hanya sebatas simbol atau ucapan tanpa tindakan nyata yang mencerminkan rasa bangga dan tanggung jawab terhadap bangsa. Begitu pula nilai persatuan dan kekeluargaan, yang terkadang kalah oleh sikap eksklusivitas atau bahkan sektarianisme yang dapat memecah belah.