Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis) berasal dari Afrika barat, merupakan tanaman penghasil utama minyak nabati yang mempunyai produktivitas lebih tinggi dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tahun 1848. Saat itu ada 4 batang bibit kelapa sawit yang ditanam di Kebun Raya Bogor (Botanical Garden) Bogor, dua berasal dari Bourbon (Mauritius) dan dua lainnya dari Hortus Botanicus, Amsterdam (Belanda).
Awalnya tanaman kelapa sawit dibudidayakan sebagai tanaman hias, sedangkan pembudidayaan tanaman untuk tujuan komersial baru dimulai pada tahun 1911. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet (orang Belgia), kemudian budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K.Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh (sungai Liput). Luas areal perkebunan mencapai 5.123 Ha. Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang menghasilkan CPO pertama di Indonesia dibangun di Sungai Liput (1918) dan kemudian di Tanah Itam Ulu (1922).
Perkembangan produksi CPO Indonesia begitu cepat terjadi hingga merubah posisi Indonesia di pasar minyak sawit dunia, bahkan tahun 2006 menggeser dominasi Malaysia sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia. Pada tahun 2016 hampir 54 persen produk CPO dunia dihasilkan oleh Indonesia. Namun di dasawarsa terakhir, isu lingkungan hidup sangat mengganggu jalannya bisnis proses kelapa sawit. Pasar eropa terus mendesak Indonesia agar memperbaiki dampak lingkungan dari bisnis proses kelapa sait dan CPO. Kerjasama dan koordinasi dengan negara- negara eropa terus dilakukan.
Berdasarkan referendum, sebanyak 51,7% suara masyarakat Swiss menyetujui agar Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) antara Indonesia-The European Free Trade Area (EFTA) dapat dilanjutkan. EFTA merupakan blok dagang yang beranggotakan Islandia, Liechtenstein, Norwegia, dan Swiss.Â
Adapun kemitraan ini meliputi sektor perdagangan, jasa dan investasi. Pada sektor perdagangan, produk-produk dari Indonesia akan mendapatkan konsesi penghapusan atau pengurangan tarif sehingga akan lebih kompetitif. Misalnya, produk minyak sawit akan diberikan pengurangan bea cukai yang berkisar antara 20% hingga 40% dengan volume maksimal 12.500 ton per tahun.
Adanya kemitraan tersebut diyakini akan berpengaruh positif bagi kegiatan kelapa sawit di Indonesia. Isu lingkungan yang selama ini menghantui bisnis kelapa sawit akan terbantu penanganannya. Konfirmasi dan klarifikasi terkait isu lingkungan dapat dijembatani oleh kemitraan ini.
Bagaimana dengan kelapa sawit Bengkulu, yakinkah akan mendapat pengaruh positif dari adanya kemitraan antara Swiss atau EFTA dengan Indonesia?
Kelapa Sawit Bengkulu
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang penting bagi Provinsi Bengkulu. Seperti provinsi lain di Pulau Sumatera, kelapa sawit di Bengkulu juga sangat dibutuhkan oleh sektor industri, kelapa sawit yang memiliki berbagai kelebihan dari unsur sifat kimianya, dapat melarutkan bahan kimia yang tidak larut oleh bahan pelarut lainnya, tahan oksidasi dengan tekanan tinggi. Kemampuan melapis yang tinggi dari kelapa sawit menyebabkan dapat digunakan untuk beragam peruntukan, seperti minyak masak, minyak industri ataupun bahan bakar (biodiesel).
Kegiatan bisnis proses kelapa sawit di Bengkulu dilakukan oleh masyarakat sebagai individu yang dikenal dengan perkebunan rakyat dan masyarakat berbadan hukum yang dikenal sebagai perusahaan perkebunan (perkebunan besar) baik negara ataupun swasta. Pada tahun 2019 luas lahan kelapa sawit yang menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) adalah 310.120 hektar, turun 0,54 persen jika dibandingkan luasan tahun 2018 dengan luas 311.807 hektar.
Sementara untuk CPO (Crude Palm Oil) sebagai produksi primer kelapa sawit yang telah diolah menjadi barang jadi atau barang setengah jadi, sehingga secara nilai ekonomisnya CPO lebih tinggi dibanding TBS. Tahun 2019 produksi CPO Provinsi Bengkulu mencapai 1.022.211ton turun 2,43 persen dari angka produksi CPO tahun 2018 sebesar 1.047.729 ton. Penurunan produksi di tahun 2019 sangat mungkin disebabkan oleh terjadinya penurunan produktivitas dari pohon kelapa sawitnya. Hal ini dapat dilihat dari lebih besarnya penurunan produksi dibanding penurunan luas lahannya.