Jika hari ini kita bertanya tentang siapa yang harus bertanggung jawab terhadap terjadinya berbagai bencana ekologis di Indonesia, maka mayoritas akan menuding korporasi.Â
Ini benar belaka, karena pemodal selalu mencari cara termudah dan tercepat untuk mendapatkan untung, maka pertimbangan ekologis sering diabaikan. Namun, menurut saya, tudingan ini cenderung menyederhanakan masalah.Â
Berjalannya suatu usaha korporasi pasti melalui serangkaian proses yang melibatkan berbagai pihak. Artinya, setiap pihak memberikan andil terhadap terjadinya bencana ekologis. Salah satu pihak yang berperan besar namun terkadang luput dari sorotan adalah akademisi.
Sebelum terlalu jauh, saya ingin terlebih dahulu memberikan beberapa batasan terhadap istilah yang saya gunakan.
Pertama, istilah akademisi yang saya gunakan terbatas pada mereka yang berasal dari perguruan tinggi, karena mereka ini adalah pemegang mandat undang-undang sebagai pengusung kebenaran ilmiah, kejujuran, dan keadilan.Â
Kedua, pengertian bencana ekologis mengacu kepada bencana-bencana yang disebabkan ulah manusia, seperti banjir, kebakaran lahan dan hutan, kekeringan, longsor, dan konflik.Â
Ketiga, tulisan ini tidak bermaksud mengerdilkan peranan pihak lain, karena itu sama pentingnya, baik sebagai penyebab maupun penerima dampak bencana ekologis tersebut. Ini hanya dimaksudkan untuk melihat peranan akademisi secara lebih khusus dan mendalam.
Keterlibatan akademisi dalam bencana ekologis dapat ditelusuri melalui berbagai peranan mereka dari "hulu" sampai "hilir". Tingkat kebutuhan yang tinggi terhadap keahlian dan kepakaran akademisi membuatnya diperlukan di mana-mana, sehingga akademisi sangat mewarnai pengelolaan lingkungan hidup di negeri ini.Â
Sayangnya, peran-peran yang menuntut kejujuran dan keluhuran budi ini terkadang tidak luput dari berbagai penyimpangan, hal tersebut lah yang menjadi garis besar tulisan ini.
Banyak yang menyatakan bahwa regulasi lingkungan hidup kita saat ini sangatlah progresif, hal tersebut ditandai dengan beragamnya instrumen yang harus disusun guna mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.Â
Kita mengenal instrumen yang cukup populer seperti Amdal, UKL-UPL, dan KLHS. Instrumen lainnya masih sangat banyak, sebut saja misalnya instrumen ekonomi lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, audit lingkungan hidup, emisi gas rumah kaca, kerentanan perubahan iklim, dan lain sebagainya.