Sementara itu, tim teknis Amdal juga diisi oleh para akademisi yang terkadang berasal dari perguruan tinggi yang sama. Maka tidak mengherankan jika sidang Amdal tak lebih seperti "perbualan kedai kopi". Kalau sudah begini, tidak salah rasanya jika kita mempertanyakan kualitas Amdal tersebut.
Para akademisi yang biasa terlibat dalam pekerjaan seperti ini biasanya bukanlah "akademisi biasa" karena mampu mengerjakan beberapa pekerjaan dalam satu waktu, pada akhirnya mereka dibantu oleh asisten yang acapkali secara keahlian dan pengalaman masih minim.Â
Pekerjaan semakin menumpuk, sementara waktu dan kemampuan intelektual semakin terbatas, maka berbagai cara pun dilakukan, termasuk copy paste, manipulasi data, analisis dangkal, dan lain sebagainya. Pada akhirnya, yang terjadi adalah pekerjaan asal jadi.
Pada situasi yang agak ke "hilir", lazim terjadi akademisi menjadi pembela korporasi untuk melancarkan praktik-praktik buruk yang selama ini dilakukan korporasi tersebut. Pembelaan ini bisa dilakukan secara halus maupun terang-terangan.Â
Untuk cara yang halus, biasanya menggunakan arena perdebatan ilmiah sebagai wadah menawarkan wacana mereka yang sarat akan kepentingan bisnis, misalnya workshop yang dilaksanakan untuk menguji suatu kebijakan pemerintah yang dirasa merugikan korporasi.Â
Seluruh fasilitas workshop disediakan oleh korporasi-korporasi tersebut, perguruan tinggi sebagai penyelenggara kemudian mendatangkan pembicara dan peserta yang "sependapat" dengan mereka. Sehingga rumusan rekomendasi bisa dikondisikan.
Selain itu, ada pula yang memang terang-terangan membela korporasi, misalnya dengan menjadi saksi ahli bagi korporasi di persidangan. Kesediaan dan motif para akademisi ini tentu sesuatu yang subjektif. Namun, sebagai pihak yang seharusnya membela kepentingan publik, maka perilaku para akademisi ini sangat mengundang tanda tanya besar.
Pada akhirnya, hal ini tidak saja memberikan keburukan bagi akademisi tersebut secara individu, tetapi membawa keburukan pula pada perguruan tinggi tempat di mana ia bernaung.Â
Sudah sering kita menyaksikan demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat kepada perguruan tinggi, karena dianggap jarang berpihak pada kepentingan massa yang sedang berjuang mempertahankan alam mereka. Ini adalah suatu ironi yang sangat memilukan.
Upaya-upaya kritik "dari dalam" sudah banyak dilakukan, salah satunya dari Dewan Guru Besar Institut Pertanian Bogor, sebagaimana diceritakan oleh Hariadi Kartodihardjo, dalam suatu tulisannya yang berjudul "Perguruan Tinggi dan Kebajikan Publik".
Para guru besar tersebut mengalami kerisauan terhadap peran ahli dari perguruan tinggi yang semakin langka, terutama yang bersedia secara terbuka membela kepentingan negara.