Ramadan berlalu, Idulfitri 2023 juga sudah usai, tidak ada lagi kerabat atau tetangga yang bertamu lagi.
Begitu Idulfitri 2023 berlalu, reportase lebaran 2023 juga selesai, bahkan balik dari kampung halaman sudah tuntas.
Kini, semua kembali menjadi normal, kehidupan kota yang sempat terhenti sejenak pun hidup lagi.
Satu sama lain saling lontarkan cerita mudik mulai dari yang menyenangkan sampai yang menyesakkan dada.
Semua kembali seperti sedia kala, yang sekolah kembali sekolah, yang kuliah kembali berkuliah, dan pekerja kembali bekerja.
Sementara aku? Tidak tahu arahnya ke mana, aku saat ini terpaksa menjadi pengangguran lagi.
Ya, terpaksa, bukan keinginan kan? Tidak ada satu orang pun yang ingin menganggur, semua ingin bekerja.
Namun, semua yang menjadi pengangguran bukan keinginannya, melainkan karena keadaan yang memaksa.
Bagaimana tidak, punya kemampuan pun tidak cukup, terbentur dengan usia maksimal, pengalaman kerja, dan IPK minimal.
Pernah aku bekerja di portal media online, tapi hanya sebulan sebelum akhirnya tidak kuat dengan tekanan pimpinan redaksi.
Aku sebenarnya ingin tetap menjadi content writer atau sekalian menjadi jurnalis meski sambil berjualan foto di situs photostock.
Seketika saya terus ditekan oleh orang tua saya untuk segera mencari pekerjaan yang layak dan mumpuni.
Mereka katanya mendoakanku agar diberikan tempat kerja yang membuatku nyaman di dalamnya.
Namun, begitu kabar tes CPNS mulai santer, saya dipaksa orang tua saya agar menjadi PNS.
Padahal, saya tidak ingin menjadi PNS karena lingkungan yang monoton, terlalu bergantung, dan jarang punya waktu untuk keluarga lebih lama lagi.
Sementara itu, mereka mengancamku kalau tidak atau gagal tes tersebut, aku harus merantau ke kota lain untuk mencari kerja.
Inginku sederhana, ingin bekerja di kota sendiri agar tetap nyaman dan bahagia saat menjalani dunia baru nanti.
Sayangnya, aku selalu ditekan untuk merantau, apa pun pekerjaannya, mending merantau saja kalau gagal jadi PNS.
Sementara itu, perantau atau pendatang wajib punya keterampilan, sedangkan apa keterampilan yang aku punya?
Aku adalah korban pemaksaan jurusan kuliah, inginnya kerja jauh dari bidang kuliah, lagi-lagi ditekan orang tua untuk bekerja sesuai bidangnya, katanya agar ilmunya berkah.
Namun, sebenarnya bukan berkah yang kudapatkan, malah musibah: IPK hancur, tidak diterima di mana-mana karena IPK tidak sampai 3,0.
Ada konflik batin ketika aku ingin hidup sesuai keinginanku, tetapi orang tua memaksaku dan membebankan ekspektasi mereka padaku.
Hingga detik ini, aku tidak tahu pekerjaan mana yang cocok untukku, semoga tahun ini lekas bekerja sesuai keinginanku sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H