Mohon tunggu...
Mohammad Faiz Attoriq
Mohammad Faiz Attoriq Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Kontributor lepas

Penghobi fotografi domisili Malang - Jawa Timur yang mulai jatuh hati dengan menulis, keduanya adalah cara bercerita yang baik karena bukan sebagai penutur yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Senandika] Mengikhlaskan itu Mudah, dari Mana?

29 April 2023   05:59 Diperbarui: 29 April 2023   06:00 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Unsplash.com/Gianfranco Grenar

Kata orang, mengikhlaskan itu mudah karena sudah mengalami kehilangan yang sangat menyakitkan.

Kata orang, mengikhlaskan itu mudah, ia seperti membalikkan telapak tangan: tidak ada kendala sama sekali.

Kata orang, mengikhlaskan itu mudah, karena yang baru akan selalu ada dan pasti lebih baik dari yang dulu pernah ada.

Itu kata orang, tapi kataku, mengikhlaskan itu sulit, sampai kapan pun akan terasa sangat sulit untuk mengikhlaskan.

Tidak selamanya aku bisa kuat dengan kehilangan, sekali saja sudah menyakitkan, apalagi berkali-kali.

Kalau orang lain semakin dewasa dengan luka kehilangan, aku semakin terluka saat dewasa karena kehilangan.

Kalau kata orang mengikhlaskan itu seperti membalikkan telapak tangan, bagiku bak membalikkan telapak tangan gajah.

Perkara kehilangan bukan hal yang mudah untuk mengikhlaskan, ada yang harus menepi untuk menangis sejadi-jadinya.

Bagiku, kehilangan demi kehilangan membuatku enggan untuk memiliki lagi karena ujung-ujungnya adalah kehilangan.

Kebanyakan orang, pasti akan ada pengganti yang dulu pernah ada, tetapi bagiku tidak pasti ada.

Yang menjadi pertanyaan terbesarku, apa selalu harus ada pengganti dari orang yang sudah pergi?

Lalu, apakah penggantinya jauh lebih baik untukku? Juga, apa haruskah aku untuk terluka lagi karena kehilangan?

Semakin memiliki rasa untuk memiliki, semakin besar konsekuensi untuk kehilangan dan melepaskannya pergi.

Luka yang masih menganga di batin ini masih sering kambuh dan selalu mengerang sakitnya rasa cinta itu.

Rasa sakit itu mengingatkanku tentang konsekuensi mencintai: harus siap kehilangan dan merelakan.

Itu sebab aku hingga kini masih enggan dengan dunia cinta, apalagi soal drama dan problematika di dalamnya.

Lebih baik aku untuk menghindar dari masalah daripada harus berhadapan dengannya tetapi gagal.

Lebih baik juga aku untuk tidak pernah saling kenal dari awal daripada berujung pada perpisahan, lebih-lebih akhir ceritanya tragis.

Semua pengalaman pahitku memberikanku arti betapa sakitnya cinta dan segala masalah di dalamnya.

Luka ini susah disembuhkan, satu-satunya pereda adalah tidak mau berurusan dengan cinta lagi seumur hidupku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun