Mengapa kamu sekarang tidak lagi sehangat di masa lalu, saat awal aku mengenalmu yang dulunya hangat dan ramah?
Mengapa kehangatan darimu berganti menjadi sikapmu yang mendingin layaknya kopi yang terhempas udara hujan malam?
Jujur, dari dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku merindukan dirimu yang seperti dulu yang ceria dan suka berbagi cerita.
Saat ini, kamu justru selalu memberikanku kode, seolah kehadiranku tidak lagi menyenangkan bagimu.
Seiring berjalannya waktu, dirimu tidak lagi berbagi kabar, menyapa saja tidak pernah lagi, hambarlah rasanya.
Padahal, aku menyukaimu lebih dari sekadar karena paras indahmu, melainkan dari hatimu yang menarik hatiku.
Kita pernah sehangat ini, dulunya pernah seakrab ini, kita bahkan lebih dari sekadar pasangan kekasih.
Keintiman hubungan kita menjadi kunci tetap hangatnya hati kita satu sama lain, aku sampai rela melewatkan waktu hanya untuk dirimu.
Aku bahkan tidak ragu untuk mendoakanmu agar dirimu selalu menjadi milikku hingga nafas ini habis.
Namun, tidak sampai nafas ini habis, energimu untuk berbagi kisah sudah habis terlebih dahulu.
Kehangatan dirimu sudah memudar, ditelan oleh egomu sendiri yang sengaja menyibukkan diri.
Aku tahu kita sama-sama sibuk, tapi apa salahnya untuk menyempatkan diri untuk saling berkomunikasi?
Atau, kamu sengaja sibuk atau justru berdusta karena ingin menghindar dariku? Mengapa seperti ini?
Jika aku salah, sebaiknya katakan, seperti halnya aku mengingatkanmu jika kamu mulai salah: mengabaikan kebiasaanmu dulu yang sering berbagi kabar dan ramah.
Jika aku salah, seharusnya jangan menghilang, bagaimana aku bisa menebus kesalahanku padamu?
Oh, sialnya aku ini, berulang kali gagal menjalin kasih, dirimu kembali membuatku gagal dan tidak berguna.
Aku tetap menunggumu kembali seperti semula, meskipun aku tahu ini sangat mustahil seperti menyeret matahari agar terbit dari utara.
Aku pernah sesabar ini untuk menunggumu kembali, hangatkan kisah kita berdua yang sempat tercoreng karenamu.
Namun, sabar itu ada batasnya, menunggumu juga ada batasnya, dan saat ini sudah mencapai batasnya, semua pasti berujung pada rasa kecewa.
Kukira aku dianggap sebagai pelabuhan terakhir, ternyata hanya dianggap seperti kereta api yang dipaksa pergi setelah waktu tunggu berakhir, aku benar-benar kecewa.
Maka dari itu, maaf, aku harus pergi, aku yang kecewa tidak bisa lagi memaafkan segala sakit hati karena sikapmu yang berubah.
Jika itu maumu, aku akan sadar diri, aku akan pergi agar dirimu puas dan tidak lagi membebani pikiranmu.
Jika hobimu adalah menghilang, izinkan aku pergi darimu, jangan pernah berharap lagi kehadiranku kembali ke sini.
Aku sudah jera masuk ke lubang yang sama, jangan pernah mencariku lagi saat menyesali kepergianku.
Aku akan mencari orang yang lebih bisa diajak untuk saling mengerti, dan itu bukan dirimu lagi, semoga dirimu sadar dan bisa mengambil pelajaran dari rasa kecewa yang kuungkapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H