Selain itu, saya keberatan amalan dicatat sendiri adalah rawan dimanipulasi, ya siapa tahu, ada saja celahnya.
Awalnya, saya mengisinya dengan setengah hati meskipun penuh integritas atau tetap mengisinya dengan jujur.
Begitu naik kelas XI SMA, tidak ada lagi program mencatat amal ibadah serupa lagi sampai lulus pun begitu.
Sejak itu, saya merasa bebas karena tidak terbebani kewajiban itu, tetapi bukan berarti saya bebas untuk tidak beribadah.
Ada rasa lega dan bisa berkonsentrasi menyimak ceramah ketika tidak ada lagi kewajiban mencatat ceramah.
Namun, begitu menginjak fase kuliah, saya merasa menyesal mengapa dulu tidak suka mencatat amal ibadah Ramadan.
Begitu tidak ada keharusan mencatatnya, ibadah saya berantakan, dikerjakan asal sudah terlaksana.
Belum lagi saat kuliah ketika jam istirahat terlalu singkat, waktu untuk beribadah kurang cukup dan tergesa-gesa.
Ibadah sunah pun tidak terlalu sering begitu tidak ada lagi buku catatan sebagai kontrol untuk beribadah.
Terlepas dari itu, saya merasa bersyukur pernah ibadah sesempurna saat masih di bangku sekolah.
Bagi adik-adik yang mendapatkan tugas mencatat amal ibadah seperti saya, nikmati tiap prosesnya dan jangan dijadikan beban.