Mohon tunggu...
Mohammad Faiz Attoriq
Mohammad Faiz Attoriq Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Kontributor lepas

Penghobi fotografi domisili Malang - Jawa Timur yang mulai jatuh hati dengan menulis, keduanya adalah cara bercerita yang baik karena bukan sebagai penutur yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Ageisme, Budaya Diskriminatif terhadap Usia di Dunia Kerja

4 April 2023   10:48 Diperbarui: 8 April 2023   07:39 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerja. (Unsplash.com/Sargent Seal)

Ada yang masih sering membaca info lowongan kerja? Ini sangat penting bagi para fresh graduate atau yang ingin pindah tempat kerja karena ingin mendapatkan penghasilan yang lebih besar lagi.

Lowongan pekerjaan sangat penting untuk memberikan informasi agar seseorang bisa bekerja di lapangan kerja tersebut. Biasanya bertujuan untuk mengisi kekosongan atau menambah tenaga kerja.

Bagi yang sudah berpengalaman mencari lowongan kerja, pasti menemukan salah satu syarat dengan bunyi "Usia maksimal 25 tahun". Mulai sebesar perusahaan internasional sampai kedai kopi, batasan usia masih ada.

Ada anggapan yang berkembang di dunia kerja Indonesia bahwa di bawah usia tersebut adalah usia produktif dan orang tersebut masih bisa dibentuk juga masih melek teknologi dan punya daya semangat tinggi.

Sedangkan usia di atas 25 tahun akan dilabeli sebagai orang yang sudah terlewat dari produktif, tidak bisa dibentuk, dan dianggap tidak lagi muda untuk mencari pekerjaan. Di lingkungan sosial Indonesia, sebelum usia 25 tahun harus sudah bekerja.

Ini sudah masuk dalam ageisme (ageism), yaitu diskriminasi terhadap seseorang atau kelompok karena usia. Istilah ini memiliki kesamaan konsep dengan seksisme yang merupakan diskriminasi berdasarkan gender.

Ageisme di Indonesia tergolong lebih brutal jika dibandingkan di AS yang sama-sama menganut budaya ageisme. Bedanya, di AS, orang dianggap terlalu tua untuk bekerja apabila usianya di atas 40 tahun.

Budaya yang salah

Ageisme di Indonesia sudah mengakar kuat, baik di dunia kerja atau sosial. Usia di atas 25 tahun yang belum memiliki pekerjaan akan dianggap sebagai orang pemalas dan menyia-nyiakan kesempatan bekerja.

Sebenarnya, pemicu dari ageisme ini berakar dari kemalasan lapangan kerja untuk membina pekerja berusia di atas 25 tahun karena dianggap sudah tidak produktif lagi. Selain itu, usia tersebut dapat stigma negatif seperti tidak bisa beradaptasi di dunia kerja.

Padahal, usia bukan penentu produktivitas kerja seseorang. Saat ini, ada istilah 'remaja jompo', yakni para pemuda di usia yang katanya produktif tersebut justru sudah mengalami penuaan dini, seperti mudah lelah atau pelupa.

Apakah orang-orang yang berusia di atas 25 tahun tidak produktif? Tidak, mengapa? Karena kematangan seseorang dalam mencapai produktivitas kerja tidaklah sama, ada yang misal baru bisa produktif dan matang di usia lebih dari 30 tahun.

Sebenarnya, ada faktor yang menyebabkan seseorang baru bisa melamar kerja di usia yang dianggap terlambat di Indonesia. Misalnya, lulus kuliahnya terlalu lama atau melanjutkan pendidikan lanjut.

Bahkan, ada faktor lowongan kerja yang membuat calon pekerja tersebut baru bisa melamar kerja di usia yang terlewat, yaitu "Memiliki pengalaman kerja minimal 1 tahun", misalnya. Walhasil, mereka harus mencari lowongan kerja lain sampai usianya terlewat.

Dampak buruk

Ageisme, terutama terhadap generasi di atas usia 25 tahun akan memiliki dampak buruk. Pertama, kasus pengangguran yang meningkat. Kedua, kesehatan mental akan terguncang  parah.

Akibat diskriminasi usia, pelamar kerja yang berusia di atas 25 tahun akan tidak memiliki kesempatan bekerja dan terpaksa menjadi pengangguran. Sayangnya, kebanyakan masyarakat hanya melihat kulitnya tanpa melihat isinya juga.

Siapa yang tidak ingin bekerja sebelum usia 25 tahun? Semua menginginkannya, tetapi keadaan yang sering tidak berpihak kepada mereka menjadi alasan mengapa mereka terpaksa menganggur.

Lelahnya pengangguran jauh lebih berat daripada pekerja, mengapa? Karena lelah mencari lowongan kerja dan selalu ditekan keluarga agar segera memiliki pekerjaan alih-alih mencarikan atau memberikan pekerjaan untuk mereka.

Tekanan demi tekanan tersebut akan memunculkan dampak kedua, yaitu kesehatan mental yang menurun. Mereka sudah depresi karena lamaran-lamaran kerjanya ditolak, ditambah desakan dan hinaan keluarga karena menjadi pengangguran.

Bahkan, banyak kasus kriminalitas yang dipicu dari sakit hatinya seorang pengangguran. Contohnya, ada kasus pembunuhan atau malah bunuh diri karena tidak kuat ditekan gara-gara tidak memiliki pekerjaan.

Turunkan ego

Sebagai penutup, ada baiknya agar para pemilik lapangan kerja untuk menurunkan ego hanya mencari yang (katanya) produktif. Usia di atas 25 tahun sangat membutuhkan kesempatan untuk bekerja.

Dengan menurunkan ego tersebut, diharapkan agar angka pengangguran di usia tersebut akan berkurang seiring berjalannya waktu dan beban pikiran karena menganggur lebih lama akan berkurang pula.

Dukungan keluarga juga sangat diperlukan agar pengangguran yang terpaksa ini bisa mendapatkan semangatnya lagi untuk mencari pekerjaan. Hal itu sangat jauh lebih bijak daripada selalu mengomelinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun