Mohon tunggu...
Mohammad Faiz Attoriq
Mohammad Faiz Attoriq Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Kontributor lepas

Penghobi fotografi domisili Malang - Jawa Timur yang mulai jatuh hati dengan menulis, keduanya adalah cara bercerita yang baik karena bukan sebagai penutur yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

RUU Perampasan Aset Harga Mati!

27 Maret 2023   07:39 Diperbarui: 27 Maret 2023   07:45 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita sudah muak dengan ulah koruptor yang masih bisa cengengesan di depan kamera ketika sudah mengenakan rompi oranye.

Mengapa? Sudah jelas, instrumen hukum di Indonesia tidak sekuat Tiongkok yang lebih kejam, yaitu eksekusi mati.

Jadi, pejabat korup di Tiongkok tidak pernah ada yang tampak tersenyum, bahkan wajah mereka lesu dan pandangannya menunduk.

Tidak perlu jauh-jauh, di era Majapahit, koruptor dan pelaku penggelapan pajak dijatuhi hukuman mati, sesuai dalam Kitab Kutaramanawa yang menjadi dasar hukum positif kala itu.

Belum lagi sebelum menjadi pejabat atau pegawai pemerintahan, mereka sudah disumpah atas nama Tuhan menggunakan kitab suci.

Padahal, sumpah berdasarkan agama seharusnya menjadi pengingat agar tidak melakukan tindakan menyimpang.

Giliran ditangkap karena tipikor, suap, penggelapan pajak, dan tetek bengeknya, mereka berkilah bahwa sedang diuji.

Kontras dengan Tiongkok yang merupakan bukan negara berketuhanan, tetapi hukumannya jauh lebih berat.

Ya, sanksi yang rendah dan kurang kuatnya penyitaan aset pelaku kejahatan keuangan inilah yang membuat mereka masih bisa bahagia, bukannya bertobat.

Sebenarnya, pada 2012 sudah ada RUU Perampasan aset yang sudah dirancang sekian lama, tetapi kerap gagal masuk Prolegnas DPR RI.

Lalu, apa yang menyebabkan RUU Perampasan Aset tidak pernah masuk Prolegnas DPR RI sejak 2012?

Jika tidak segera disahkan, dikhawatirkan tingkat kepercayaan rakyat terhadap wakilnya, yaitu DPR RI akan merosot tajam.

Banyaknya kasus korupsi dengan anggota legislatif tersebut menjadi tersangka tidak menjadi alasan semangat RUU Perampasan Aset disahkan menjadi UU.

Citra DPR RI sudah mulai hancur karena tipikor atau suap lainnya, seharusnya menjadi 'penebusan dosa' dengan mengesahkan RUU Perampasan Aset

RUU Perampasan Aset sudah waktunya untuk disahkan menjadi UU mengingat urgensinya yang sangat mendesak.

Mengapa mendesak? Jika tidak ada perampasan sesegera mungkin, keuangan negara akan bocor di sana-sini.

Selain itu, perampasan aset juga memberikan efek jera terhadap koruptor dan agar calon pelaku berpikir beribu-ribu kali.

Perampasan harta pelaku tipikor akan menyelamatkan keuangan negara yang bocor dimakan tikus berdasi.

Kalau bisa, bukan hanya penyitaan aset yang dikorupsi, sekalian dimiskinkan sebagai tambahan hukuman yang menyakitkan.

Mungkin terdengar tidak manusiawi, tetapi setidaknya ini lumayan adil karena mereka tidak memikirkan kemanusiaan ketika menjadi maling uang negara.

Ini bisa memberikan efek balasan atau tepatnya memberi pelajaran bahwa rakyatnya yang menjadi korban korupsi menderita hidupnya.

Memang, rencana pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi UU sangat terlambat sekarang, tetapi lebih baik daripada tidak sama sekali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun