Kabarnya, adik saya tidak berkembang sama sekali di dalam kandungan ibu saya, entah mengapa bisa terjadi.
Hingga akhirnya, saya turut menginap di rumah sakit dan tidak ada di depan kamar operasi, saya menjauh.
Saya mencoba sadar agar bisa menerima kenyataan dan tidak menyalahkan keadaan dan takdir yang sudah terlanjur terjadi.
Memang, mungkin saya ditakdirkan hanya seorang diri, saya yakin dengan apa yang Dia tetapkan pasti jauh lebih baik dari perkiraan saya.
Setelah bertahun-tahun lamanya, saya mulai bisa mengikhlaskan kematian adik saya yang belum sempat dilahirkan itu.
Mungkin, dia menunggu saya di kehidupan yang lain, juga menunggu Ayah dan Ibu yang entah kapan bertemu lagi.
Ramadan yang menyedihkan kala itu mendewasakan saya yang awalnya membenci takdir ini dan sadar bahwa tidak selamanya keinginan itu pasti dikabulkan.
...
".... Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (Al Baqarah: 216)
Barangkali, jika saya keras kepala agar punya adik, mungkin belum tentu dianggap baik menurut-Nya.
Meskipun rasa ini belum bisa mereda, tetapi setidaknya saya harus belajar untuk mengikhlaskannya dan mulai mengubah pandangan saya terhadap Ramadan.